Kamis, 14 Maret 2013

Dari Banda Menuju Malaysia : Jalan Menyembuhkan Leukemia

Catatan Harian Merawat Anak Kanker Darah (Leukemia) Bagian 3 

 

Dari Banda Menuju Malaysia

Ikhtiar mencari rumah sakit terbaik untuk Zaim

 

Sabtu, 20 Oktober 2012

            Kemana kaki harus melangkah ketika anak divonis kanker darah? Pikiran itu menggelayuti pikiranku. Dokter Isra sudah dengan jelas menyarankan bahwa Zaim sebaiknya di rawat di Malaysia. Atau kalaupun mau mencari yang agak minimal, disarankan ke Medan. Tidak sedikitpun dokter Isra menyebutkkan Rumah Sakit Zainal Abidin di Aceh untuk perawatan Zaim. Padahal dokter Isra sendiri orang Aceh dan bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit milik Pemerintah Aceh tersebut. Hal ini tidak terlalu asing. Banyak orang Aceh yang lebih percaya mengobati sakitnya ke Malaysia. Apakah itu ke Penang atau Kuala Lumpur. Beberapa kolegaku mengatakan bahwa mereka puas dengan layanan di negeri tetangga tersebut. Memang biayanya bisa jadi sama, bahkan tidak jarang lebih mahal. Tetapi masalah service, prosedur dan tentu saja hasil menjadi faktor dominan bagi kawan-kawanku untuk mengambil pilihan berobat ke Malaysia. Ada lelucon di kalangan orang Aceh. Konon jika satu saja rumah sakit Malaysia buka di Aceh, maka dapat dipastikan rumah sakit lokal akan gulung tikar.

            Bagiku sendiri, untuk berobat ke Malaysia bukan perkara membalikkan telapak tangan. Aku harus berfikir beberapa kali membawa Zaim ke luar negeri. Pertama aku tidak punya saudara di Malaysia. Padahal syarat rawatan di Malaysia harus punya alamat lokal. Kedua, ini yang agak lucu, aku sendiri belum pernah ke luar negeri dus punya pasport. Kendala masalah pasport juga bukan kendala sepele. Okelah untuk pasportku dan istri dapat diurus segera. Tapi bagaimna dengan Zaim belum punya Akte Lahir. Padahal ini syarat mutlak untuk mendapatkan pasport bagi anak-anak selain persyaratan lainnya. Isu trafficing memang memaksa pihak imigrasi harus ekstra hati-hati. Konsekuensinya mereka sangat ketat dalam memberikan pasport terutama kepada anak-anak. Sementara rumah sakit yang kutuju belum jelas, aku harus memikirkan keperluan dokumen perjalanan.

            Hari Sabtu tanggal 20 Oktober, Zaim harus masuk ke Rumah Sakit Zainal Abidin. Dokter Isra menyarankan bahwa Zaim harus mendapatkan penanganan ekstra sebelum fase penanganan kemo dimulai. Beliau mengkhawatirkan bahwa Zaim mengalami pendarahan karena kondisinya sudah memasuki fase kritis. Untuk itu belum menyarankan, sebelum memutuskan berangkat ke Malaysia atau Medan, alangkah lebih baik Zaim harus transfusi darah. Dan itu harus di rumah sakit.

            Anak-anak atau orang dewasa yang mengidap kanker darah atau leukemia harus sering transusi darah. Hal ini dikarenakan terlalu banyaknya sel darah putih yang memakan sel darah marah. Untuk itu transfusi darah penting dilakukan untuk menjaga keseimbangan komposisi darah di dalam tubuh. Selama tiga hari di Zainal Abidin, tiga kali pula Zaim harus transfusi darah. Terkadang dalam kondisi mengantuk, aku harus duduk beringsut di depan kaunter PMI. Alhamdulillah, golongan darah Zaim B+. Jadi tidak terlalu susah. Kalaupun tidak ada darah, aku siap mendonorkan darahku pada Zaim karena kebetulan golongan darah kami sama.

            Beberapa hari di Zainal Abidin, kami menerima banyak kali kunjungan dari kawan-kawan dan saudara. Pada satu sisi aku gembira dan merasa terhibur atas kunjungan tersebut. Namun harus diakui karena kunjungannya sehabis maghrib, sedikit banyak hal itu menganggu. Terutama Zaim yang jadi susah tidur karena banyaknya tamu yang datang. Niat mereka semua baik. Hanya saja timingnya terkadang tidak pas. Alangkah baiknya jika kita menjenguk orang sakit, tidak selepas Maghrib apalagi Isya’. Karena biasanya pada jam seperti itu, baik pesakit atau yang mendampinginya perlu istirahat.

*****

            Selama di RSZA, aku harus memastikan bahwa dalam beberapa hari tersebut pasport harus sudah selesai. Maka aku menghubungi kawan-kawanku untuk membantu memudahkan prosesku. Ada kawanku yang menghubungi anggota dewan untuk memastikan aku memperoleh semua persyaratan yang dibutuhkan imigrasi. Bukan tidak menghargai bantuan orang, tapi aku sendiri tidak ingin tergantung pada bantuan orang. Dibantu alhamdulillah, sekedar do’a saja aku sudah bersyukur. Maka hari Senin, setelah mengurus transfusi darah untuk Zaim, aku segera ke kantor pemerintah. Memastikan nama Zaim tertera di dalam Kartu Keluarga. Alhamdulillah prosesnya lebih cepat dari yang kubayangkan. Setelah selesai, aku segera Imigrasi.

            Hingga saat ini, aku masihlah tercatat sebagai mahasiwa Fakultas Hukum Unsyiah. Dari kampus tersebut, aku memperoleh kolega pegawai yang bekerja di Kantor Wilayah Hukum dan HAM, termasuk mereka yang bekerja di Imigrasi. Keberadaan teman dalam instansi sangat membantu prosesku untuk mendapatkan dokumen yang kuperlukan.  Pagi aku memasukkan dokumen, siang membawa Zaim untuk mengambil foto di Imigrasi, alhamdulillah sorenya sudah selesai. Tugas belum selesai, aku harus memperoleh tiket ke Kuala Lumpur. Maka aku mengubungi kawan-kawan yang di travel, dan alhamdulillah walaupun dengan harga tiket yang sedikit agak mahal, tapi jadwal sudah aku dapatkan.

            Pada detik ini aku bersyukur, bahwa aku dikelilingi oleh kawan-kawan yang mau membantu. Memang tidak semuanya mampu untuk menyumbang uang—sesuatu yang aku perlukan terkait perawatn Zaim. Namun terkadang bantuan non uang itu lebih diperlukan pada moment tertentu. Bismillah, nantinya hari Rabu 24 Oktober 2012 akhirnya kami membawa Zaim untuk ikhtiar mencari pengobatan ke Malaysia. 

Note : Keterangan foto Zaim ketika transfusi darah untuk pertama kalinya. Tranfusi darah, nantinya akan menjadi kebiasaan yang tidak asing bagi Zaim.

 

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar