Dari Banda Menuju Malaysia : Jalan Menyembuhkan Leukemia
Catatan Harian Merawat Anak Kanker Darah (Leukemia) Bagian 3
Dari Banda Menuju Malaysia
Ikhtiar mencari rumah
sakit terbaik untuk Zaim
Sabtu, 20 Oktober 2012
Kemana
kaki harus melangkah ketika anak divonis kanker darah? Pikiran itu menggelayuti
pikiranku. Dokter Isra sudah dengan jelas menyarankan bahwa Zaim sebaiknya di
rawat di Malaysia. Atau kalaupun mau mencari yang agak minimal, disarankan ke
Medan. Tidak sedikitpun dokter Isra menyebutkkan Rumah Sakit Zainal Abidin di
Aceh untuk perawatan Zaim. Padahal dokter Isra sendiri orang Aceh dan bekerja
sebagai dokter di Rumah Sakit milik Pemerintah Aceh tersebut. Hal ini tidak
terlalu asing. Banyak orang Aceh yang lebih percaya mengobati sakitnya ke
Malaysia. Apakah itu ke Penang atau Kuala Lumpur. Beberapa kolegaku mengatakan
bahwa mereka puas dengan layanan di negeri tetangga tersebut. Memang biayanya
bisa jadi sama, bahkan tidak jarang lebih mahal. Tetapi masalah service, prosedur dan tentu saja hasil
menjadi faktor dominan bagi kawan-kawanku untuk mengambil pilihan berobat ke
Malaysia. Ada lelucon di kalangan orang Aceh. Konon jika satu saja rumah sakit
Malaysia buka di Aceh, maka dapat dipastikan rumah sakit lokal akan gulung
tikar.
Bagiku
sendiri, untuk berobat ke Malaysia bukan perkara membalikkan telapak tangan.
Aku harus berfikir beberapa kali membawa Zaim ke luar negeri. Pertama aku tidak
punya saudara di Malaysia. Padahal syarat rawatan di Malaysia harus punya
alamat lokal. Kedua, ini yang agak lucu, aku sendiri belum pernah ke luar
negeri dus punya pasport. Kendala
masalah pasport juga bukan kendala sepele. Okelah untuk pasportku dan istri
dapat diurus segera. Tapi bagaimna dengan Zaim belum punya Akte Lahir. Padahal
ini syarat mutlak untuk mendapatkan pasport bagi anak-anak selain persyaratan
lainnya. Isu trafficing memang memaksa pihak imigrasi harus ekstra hati-hati.
Konsekuensinya mereka sangat ketat dalam memberikan pasport terutama kepada
anak-anak. Sementara rumah sakit yang kutuju belum jelas, aku harus memikirkan
keperluan dokumen perjalanan.
Hari
Sabtu tanggal 20 Oktober, Zaim harus masuk ke Rumah Sakit Zainal Abidin. Dokter
Isra menyarankan bahwa Zaim harus mendapatkan penanganan ekstra sebelum fase
penanganan kemo dimulai. Beliau mengkhawatirkan bahwa Zaim mengalami pendarahan
karena kondisinya sudah memasuki fase kritis. Untuk itu belum menyarankan,
sebelum memutuskan berangkat ke Malaysia atau Medan, alangkah lebih baik Zaim
harus transfusi darah. Dan itu harus di rumah sakit.
Anak-anak
atau orang dewasa yang mengidap kanker darah atau leukemia harus sering
transusi darah. Hal ini dikarenakan terlalu banyaknya sel darah putih yang
memakan sel darah marah. Untuk itu transfusi darah penting dilakukan untuk
menjaga keseimbangan komposisi darah di dalam tubuh. Selama tiga hari di Zainal
Abidin, tiga kali pula Zaim harus transfusi darah. Terkadang dalam kondisi
mengantuk, aku harus duduk beringsut di depan kaunter PMI. Alhamdulillah,
golongan darah Zaim B+. Jadi tidak terlalu susah. Kalaupun tidak ada darah, aku
siap mendonorkan darahku pada Zaim karena kebetulan golongan darah kami sama.
Beberapa
hari di Zainal Abidin, kami menerima banyak kali kunjungan dari kawan-kawan dan
saudara. Pada satu sisi aku gembira dan merasa terhibur atas kunjungan
tersebut. Namun harus diakui karena kunjungannya sehabis maghrib, sedikit
banyak hal itu menganggu. Terutama Zaim yang jadi susah tidur karena banyaknya
tamu yang datang. Niat mereka semua baik. Hanya saja timingnya terkadang tidak
pas. Alangkah baiknya jika kita menjenguk orang sakit, tidak selepas Maghrib
apalagi Isya’. Karena biasanya pada jam seperti itu, baik pesakit atau yang
mendampinginya perlu istirahat.
*****
Selama
di RSZA, aku harus memastikan bahwa dalam beberapa hari tersebut pasport harus
sudah selesai. Maka aku menghubungi kawan-kawanku untuk membantu memudahkan
prosesku. Ada kawanku yang menghubungi anggota dewan untuk memastikan aku
memperoleh semua persyaratan yang dibutuhkan imigrasi. Bukan tidak menghargai
bantuan orang, tapi aku sendiri tidak ingin tergantung pada bantuan orang.
Dibantu alhamdulillah, sekedar do’a saja aku sudah bersyukur. Maka hari Senin,
setelah mengurus transfusi darah untuk Zaim, aku segera ke kantor pemerintah.
Memastikan nama Zaim tertera di dalam Kartu Keluarga. Alhamdulillah prosesnya
lebih cepat dari yang kubayangkan. Setelah selesai, aku segera Imigrasi.
Hingga
saat ini, aku masihlah tercatat sebagai mahasiwa Fakultas Hukum Unsyiah. Dari
kampus tersebut, aku memperoleh kolega pegawai yang bekerja di Kantor Wilayah
Hukum dan HAM, termasuk mereka yang bekerja di Imigrasi. Keberadaan teman dalam
instansi sangat membantu prosesku untuk mendapatkan dokumen yang kuperlukan. Pagi aku memasukkan dokumen, siang membawa
Zaim untuk mengambil foto di Imigrasi, alhamdulillah
sorenya sudah selesai. Tugas belum selesai, aku harus memperoleh tiket ke Kuala
Lumpur. Maka aku mengubungi kawan-kawan yang di travel, dan alhamdulillah walaupun dengan harga
tiket yang sedikit agak mahal, tapi jadwal sudah aku dapatkan.
Pada
detik ini aku bersyukur, bahwa aku dikelilingi oleh kawan-kawan yang mau
membantu. Memang tidak semuanya mampu untuk menyumbang uang—sesuatu yang aku
perlukan terkait perawatn Zaim. Namun terkadang bantuan non uang itu lebih
diperlukan pada moment tertentu. Bismillah, nantinya hari
Rabu 24 Oktober 2012 akhirnya kami membawa Zaim untuk ikhtiar mencari
pengobatan ke Malaysia.
Note : Keterangan foto Zaim ketika transfusi darah untuk pertama kalinya. Tranfusi darah, nantinya akan menjadi kebiasaan yang tidak asing bagi Zaim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar