Kamis, 14 Maret 2013

Jalan Mendung Menuju Bandung


 Catatan Harian Merawat Anak Kanker Darah (Leukemia) Bagian2




Jalan Mendung Menuju Bandung
Apa reaksi seorang ayah yang mengetahui anaknya divonis kanker?



14 Oktober 2012
Saat itu aku harusnya perjalanan menuju Bandung menjadi perjalanan yang menyenangkan. Udara sejuk Air Conditioner, keceriaan anak-anak SD yang akan lomba drumband, juga jalanan mulus menuju Kota Kembang. Harusnya itu semua menjadi sebuah kebahagian dalam dinas. Aku selalu menikmati setiap kali mendapat tugas dari kantor untuk melakukanperjalanan dinas ke luar kota. Kota tempatku tinggal—kalau boleh dikatakan sebuah kota—bukannya sebuah kota yang tidak indah. Aku bahagia tinggal di sebuah provinsi bernama Aceh, sebuah daerah yang terletak di ujung pulau Sumatra. Susah untuk tidak mengatakan bahwa Aceh merupakan tempat tinggal yang tidak enak. Memang kotanya kecil, tidak banyak mall, apalagi gedung bioskop. Tapi pantai-pantai yang terbentang di Aceh, gunung-gunungnya, orang-orangnya, masjid-masjidnya apalagi warung kopinya, selalu menyimpang romansa tersendiri. Meskipun aku tidak dilahirkan di provinsi yang dijuluki Serambi Mekkah, aku tidak merasa menjadi orang asing. Bahkan aku merasa bahwa Aceh adalah takdirku. Takdir dimana Allah mempertemukan dengan istri, takdir dimana anak-anakku lahir dan tumbuh. Juga takdir dimana kelak nanti Allah memanggilku, pulang ke kampung akhirat yang abadi. Meninggalkan dunia yang fana dan rapuh ini.  
Tapi panggilan istriku petang itu membuyarkan semua kebahagiannku. Tangisan kabar tentang anakku yang mengidap leukeumia itu menghisap sari-sari kebahagianku dan menyelimutiku dengan ketakutan serta rasa cemas akan masa depan. Tiba-tiba aku ingin pulang, memeluk dan mencium putraku.
Namun kenyataannya, istriku meyakinkanku untuk meneruskan pekerjaanku. Baru tiga hari kemudian tiba di Aceh. Aku ingat hari itu hari Senin, beberapa hari sebelum Lebaran Haji. Harusnya aku dan istriku dapat menyiapkan beberapa keperluan untuk menyambut Idhul Qur’ban. Membeli kambing, membelikan baju untuk anak-anak, mengatar belanja istriku atau sekedar bersihkan rumah.
Pada kenyataannya aku harus bolak-balik memeriksakan kondisi anakku. Malam itu, setelah kami mengambil hasil cek darah Zaim, dengan tangan gemetar dan wajar serius dokter itu berdiskusi dengan kami. Dokter itu mengambil nafas, lebih berat dari biasanya,
“Ini arahnya leukemia. Kanker darah.”
Entah berapa kali aku mendengar istilah kanker. Aku tahu kanker merupakan penyakit yang paling mematikan. Bagiku terasa biasa mendengar tentang penyakit tersebut. Namun kita ketika kata kanker dijadikan diagnonis atas penyakit anakku, maka kata kanker bukan menjadi kalimat  yang tanpa makna. Kalimat kanker menjadi halilintar yang memekkan kalimatku.
“Saya sarankan Anda berdua mencari mencari second opion,” saran dokter tersebut kepada kami berdua. “Semoga saja diagnosa saya salah.”
Saat itu aku merasakan badanku seperti melorot, sendi-sendiku terasa lemas dan kepalaku terasa pusing. Buliran kristal air keluar dari mata istriku.  Langit seperti runtuh. Aku seperti memasuki lorong-lorong gelap yang panjang, lorong yang tidak kutahu dimana ujungnya.
“Tolong katakan, rumah sakit mana yang mampu mengobati kanker, dok,” ujarku seperti mengiba.
“Kalau ada kemudahan langkah dan rezeki, sebaiknya ke Malaysia. Dulu saya punya pasien yang mengidap penyakit leukemia. Alhamdulillah sembuh. Cuman kita tahu biaya berobat di Malaysia tidaklah murah. Untuk itu mungkin agak berat, saya sarankan ke Medan. Disana ada dokter spesialis.”
Malam itu, kami pulang dalam rintik hujan.  Menembus jalanan Banda Aceh dan Aceh Besar.  Aku dan istriku sama-sama diam. Kalut dengan pikiran masing-masing. Hanya Zaim yang sudah tidur kelelahan.
Entah mengapa mataku terasa berat. Diluar mobil angin kencang menerbangkan dedaunan. Kerlap-kerlip lampu kendaraan berjalan  membelah malam. Bayangan hitam dari pepohanan yang biasanya terasa rindang kini seperti hantu malam yang bergentayangan. Semua terasa seperti mimpi buruk berwarna buram.
Dulu orang tuaku sering mengajarkan. Kalau mimp buruk, buanglah ludah tiga kali ke kanan. Mimpi buruk itu nantinya akan hilang dengan sendirinya. Diagnosa dokter Isra tentang penyakit Zaim itu seperti mimpi buruk bagiku. Bedanya adalah mimpi buruk itu sulit kuusir sekalipun dengan berwudlu, apalagi hanya membuang ludah.
Sudah satu jam sejak aku dan istriku akhirnya tiba di rumah. Sudah setengah jam yang lalu, aku naik ke pembaringan. Sedikitpun mataku tidak dapat kupejamkan. Langit mendung, guruh berdentuman dan kilat saling bersahutan. Hujan turun di luar sana,  tetapi air mata mengalir di sini.

Note:
Foto diambil di SDIT Nurul Fikri, beberapa hari sebelum saya berangkat ke Bandung. Saat itu kami belum tahu bahwa sell kanker telah merasuk ke dalam darahnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar