Catatan Harian Merawat Anak Kanker Darah (Leukemia) Bagian2
Jalan Mendung Menuju Bandung
Apa reaksi seorang ayah yang mengetahui anaknya divonis kanker?
14 Oktober 2012
Saat itu aku harusnya
perjalanan menuju Bandung menjadi perjalanan yang menyenangkan. Udara sejuk Air Conditioner, keceriaan anak-anak SD
yang akan lomba drumband, juga jalanan mulus menuju Kota Kembang. Harusnya itu
semua menjadi sebuah kebahagian dalam dinas. Aku selalu menikmati setiap kali
mendapat tugas dari kantor untuk melakukanperjalanan dinas ke luar kota. Kota
tempatku tinggal—kalau boleh dikatakan sebuah kota—bukannya sebuah kota yang
tidak indah. Aku bahagia tinggal di sebuah provinsi bernama Aceh, sebuah daerah
yang terletak di ujung pulau Sumatra. Susah untuk tidak mengatakan bahwa Aceh
merupakan tempat tinggal yang tidak enak. Memang kotanya kecil, tidak banyak
mall, apalagi gedung bioskop. Tapi pantai-pantai yang terbentang di Aceh,
gunung-gunungnya, orang-orangnya, masjid-masjidnya apalagi warung kopinya,
selalu menyimpang romansa tersendiri. Meskipun aku tidak dilahirkan di provinsi
yang dijuluki Serambi Mekkah, aku tidak merasa menjadi orang asing. Bahkan aku
merasa bahwa Aceh adalah takdirku. Takdir dimana Allah mempertemukan dengan
istri, takdir dimana anak-anakku lahir dan tumbuh. Juga takdir dimana kelak
nanti Allah memanggilku, pulang ke kampung akhirat yang abadi. Meninggalkan
dunia yang fana dan rapuh ini.
Tapi panggilan istriku
petang itu membuyarkan semua kebahagiannku. Tangisan kabar tentang anakku yang
mengidap leukeumia itu menghisap sari-sari kebahagianku dan menyelimutiku
dengan ketakutan serta rasa cemas akan masa depan. Tiba-tiba aku ingin pulang,
memeluk dan mencium putraku.
Namun kenyataannya,
istriku meyakinkanku untuk meneruskan pekerjaanku. Baru tiga hari kemudian tiba
di Aceh. Aku ingat hari itu hari Senin, beberapa hari sebelum Lebaran Haji.
Harusnya aku dan istriku dapat menyiapkan beberapa keperluan untuk menyambut
Idhul Qur’ban. Membeli kambing, membelikan baju untuk anak-anak, mengatar
belanja istriku atau sekedar bersihkan rumah.
Pada kenyataannya aku harus
bolak-balik memeriksakan kondisi anakku. Malam itu, setelah kami mengambil
hasil cek darah Zaim, dengan tangan gemetar dan wajar serius dokter itu
berdiskusi dengan kami. Dokter itu mengambil nafas, lebih berat dari biasanya,
“Ini arahnya leukemia. Kanker darah.”
Entah berapa kali aku
mendengar istilah kanker. Aku tahu kanker merupakan penyakit yang paling
mematikan. Bagiku terasa biasa mendengar tentang penyakit tersebut. Namun kita
ketika kata kanker dijadikan diagnonis atas penyakit anakku, maka kata kanker
bukan menjadi kalimat yang tanpa makna.
Kalimat kanker menjadi halilintar yang memekkan kalimatku.
“Saya sarankan Anda
berdua mencari mencari second opion,”
saran dokter tersebut kepada kami berdua. “Semoga saja diagnosa saya salah.”
Saat itu aku merasakan
badanku seperti melorot, sendi-sendiku terasa lemas dan kepalaku terasa pusing.
Buliran kristal air keluar dari mata istriku.
Langit seperti runtuh. Aku seperti memasuki lorong-lorong gelap yang
panjang, lorong yang tidak kutahu dimana ujungnya.
“Tolong katakan, rumah
sakit mana yang mampu mengobati kanker, dok,” ujarku seperti mengiba.
“Kalau ada kemudahan
langkah dan rezeki, sebaiknya ke Malaysia. Dulu saya punya pasien yang mengidap
penyakit leukemia. Alhamdulillah sembuh. Cuman kita tahu biaya berobat di
Malaysia tidaklah murah. Untuk itu mungkin agak berat, saya sarankan ke Medan.
Disana ada dokter spesialis.”
Malam itu, kami pulang dalam
rintik hujan. Menembus jalanan Banda
Aceh dan Aceh Besar. Aku dan istriku
sama-sama diam. Kalut dengan pikiran masing-masing. Hanya Zaim yang sudah tidur
kelelahan.
Entah mengapa mataku
terasa berat. Diluar mobil angin kencang menerbangkan dedaunan. Kerlap-kerlip
lampu kendaraan berjalan membelah malam.
Bayangan hitam dari pepohanan yang biasanya terasa rindang kini seperti hantu
malam yang bergentayangan. Semua terasa seperti mimpi buruk berwarna buram.
Dulu orang tuaku sering
mengajarkan. Kalau mimp buruk, buanglah ludah tiga kali ke kanan. Mimpi buruk
itu nantinya akan hilang dengan sendirinya. Diagnosa dokter Isra tentang
penyakit Zaim itu seperti mimpi buruk bagiku. Bedanya adalah mimpi buruk itu
sulit kuusir sekalipun dengan berwudlu, apalagi hanya membuang ludah.
Sudah satu jam sejak aku
dan istriku akhirnya tiba di rumah. Sudah setengah jam yang lalu, aku naik ke
pembaringan. Sedikitpun mataku tidak dapat kupejamkan. Langit mendung, guruh berdentuman
dan kilat saling bersahutan. Hujan turun di luar sana, tetapi air mata mengalir di sini.
Note:
Foto diambil di SDIT Nurul Fikri, beberapa hari sebelum saya berangkat ke Bandung. Saat itu kami belum tahu bahwa sell kanker telah merasuk ke dalam darahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar