Buat Anda yang tidak suka diceramahi,
artikel ini akan sangat membosankan. Tetapi memang begitulah adanya. Kurang dan
lebih begitulah ceritanya. Diawali ketika aku di telpon oleh sebuah perusahaan
perbankan di Jakarta. Tidak tanggung-tanggung langsung menawarkan hutang alias
kartu kredit. Berawal di bulan November
yang lalu tatkala aku mendaftakan diri membuka simpanan di bank swasta. Yang
menarik dari bank tadi adalah layanan Air Asia Saver. Ini artinya aku tidak
perlu berlayanan pada travel untuk memesan tiket ke Malaysia dan sebaliknya.
Sekedar informasi, selama kurun waktu delapan bulan ini, hampir 6 kali aku
pulang pergi Malasyia-Indonesia. Hal ini dikarenakan aku masih bekerja di Aceh.
Begitu juga dengan nasib Muthia dan Faiza yang masih tercatat sebagai seorang
siswa pada sekolah swasta di Aceh.
Nah, setelah aku mendaftarkan diri
pada layanan AirAsia Saver tadi, aku mulai ditelepon dari Jakarta. Pertama kali adalah operator kartu
kredit yang memberikan pertanyaan, semacam survey. Lalu mereka menawarkan diri
kartu kredit padaku. Gratis tanpa bunga selama dua tahun. Wow gitu loh. Maklum,
selama ini aku hanya meminjam dari lembaga non formal alias dari teman-teman di
sekelilingku. Kini ada sebuah lembaga formal yang tiba-tiba menawarkan diri
untuk memberikan hutangan. Sebagai orang kampong yang terkadang masih menyimpan
uang di bawah bantal dan melakukan transaksi dengan cara yang simple, aku
merasa tidak biasa dengan tawaran dari sebuah lembaga formal dari seberang laut
sana, asing dan agak jauh.
Kebutuhan berobat Zaim dengan jenis penyakit
Leukemia memang memerlukan biaya yang cukup besar. Tawaran hutang—termasuk dari
Bank—dikala kondisi keuanganku sedang seret selepas menjual sekian asset,
ibarat tawaran minum Es Teller ditengah bulan puasa Ramadhan; sangat
mengiurkan. Aku sendiri agak trauma dengan kartu kredit mengingat dulu ada
seorang kawan kantor yang tiap hari ditelpon setengah diteror. Selidik punya
selidik kawan tadi tersangkut masalah kartu kredit.
Tapi bukan ini cerita yang ingin aku
tuliskan. Sejak menerima kartu tersebut, aku ditelpon oleh beberapa perempuan
baik dengan suara lembut merayu ataupun setengah sadis menanyakan kartu kredit.
Isi pembicaraan biasanya seputar apakah aku sudah menggunakan kartu tersebut,
apakah sudah menerima pin nya juga informasi lain bahwa jika aku rajin dan
tekun menggunakan kartu tersebut maka aku akan dijanjikan mengikuti undian.
Tentu saja hadiah undiannya adalah barang mahal seperti mobil, tab, iphone ataupun barang canggihnya.
Luar biasa memang orang di seberang sana.
Bukan hanya menawari hutang. Bahkan dengan hutang pun ada hadiah
undiannya. Seingatku di koperasi yang paling canggih di negeriku, apakah itu
koperasi masjid, koperasi pasar, koperasi perempuan apalagi koperasi pengusaha
krupuk, tidak ada yang memberikan hutang sambil memberikan hadiah yang mahal
serajin apapun menjadi anggota koperasi. Paling banter mendekati Hari Raya
hanya akan dibagi beras dan syrup tjap Patung, itupun jika sudah melunasi
hutangnya. Nggak ada yang mengiming-imingi memberikan hadiah tablet, iphone
apalagi mobil. Aih aih.
Pada awalnya aku mengira bahwa informasi
mengenai layanan hadiah itu resmi dari perbankan. Belakangan setelah aku
tanyakan ke bank tersebut, informasi mengenai kartu kredit dengan penawaran hadiah
yang aduhai tadi rupanya sesat. Mereka mengingatkan bahwa akhir-akhir ada ini
banyak pemegang kartu kredit yang menjadi sasaran penipuan. Setelah aku
kunyah-kunyah informasi tersebut benar adanya. Biasanya operator perusahaan perbankan
yang menawarkan kartu kredit, mereka akan menelepon dengan nomor resmi dari
kantor. Diawali dengan menyebutkan lalu
mengalirlah suaranya yang jernih. Sang operator
akan menjelaskan dengan tenang dan pembawaan yang tenang sekalipun
ujung-ujungnya menawarkan hutang. Aku bahkan seolah mampu mencium bau parfum mbak-mbak
operator maupun dinginnya semprotan udara
Air Conditioner dalam ruangan tersebut. Mereka biasanya menggunakan layanan
provider telepon resmi yang memiliki angka tidak lebih dari lima digit. Sementara
perusahaan penipu, operator palsu akan menelpon dengan handphone murahan.
Suaraya bemirisik dan yang lebih parah lagi sering gonta-ganti nomor telepon.
Dugaanku strategi licik ini dipakai agar tidak tidak tertangkap aparat, mereka
akan telepon dari ruangan yang tidak kedap suara. Apakah itu di dekat toilet,
pasar ikan ataupun duduk sambil menyantap siomay murahan sambil mulutnya
mengoceh kepada orang yang akan ditipunya tentang mobil, tablet ataupun gadget
yang buat mereka sendiri asing. Aku yakin setelah menutup teleponnya dia akan berteriak,
“Bang, sausnya kurang nich.” Aku bahkan seolah mampu menghirup deodorant
murahan ataupun bau saus yang dicampur dengan pewarna tekstil dan boraks biar awet
sekalipun setahun dipakai. Ujung-ujungnya mereka akan meminta nomor pin kartu
kredit kita. Di dunia, juga di negeri yang kucintai bernama Indonesia, modus
tipu menipu melalui dunia maya merupakan sebuah fenomena yang mewabah. Perampok
tak perlu lagi datang ke Bank untuk merampok uang. Mereka bisa mencuri dengan
hanya duduk di depan computer sambil menghirup kopi. Juga melalui kartu kredit.
Maka bukan tanpa bermksud main hakim sendiri, suatu kali ketika operator palsu
dengan deodorant tadi kembali melancarkan aksinya, aku melakukan serangan
balik. Begini percakapannya.
“Halo, dengan pak Wayir Nuri.”
“Iya.”
“Bapak pengguna kartu kredit ini
khan…,” ujarnya sambil memperkenalkan produk dan tawaran hadiah.
“Terima kasih atas tawarannya. Tapi
boleh saya yang giliran bicara?”
Operator itu tampak bergumam. Dia
sudah menjadikan pembicaraan sebagai media menipu orang. Kalau aku yang bicara,
mungkin dia mengira aku akan balik menipunya.
“Silahkan pak.”
“Begini ya. Sebenarnya ini bukan
konsumsi Anda. Siapa nama nona tadi.”
“Angelina, Pak.”
“Aduh nama yang sangat cantik.”
“Terima kasih.”
“Nona Angelina, ini mungkin tidak ada
hubungannya dengan Anda. Tapi dengarkan cerita saya. Barangkali beban saya agak
berkurang setelah ada orang yang mau mendengar cerita saya. Begini, anak saya
itu divonis kanker darah. Dan saya memerlukan dana sangat banyak. Saya sudah
menjual sepeda motor, mobil dan pernah berfikiran menjual rumah. Nona tahu,
saya perlu mengumpulkan waktu bertahun-tahun demi membeli sebuah sepeda motor
dan mobil butut itu. Tapi Allah menariknya benda titipannya tadi dalam hitungan
menit. Saya ikhlas saja karena benda-benda itu titipan dari Nya. Saya hanya
meminta semoga Allah menyembuhkan anak saya. Saya tidak pernah khawatir kalau
berpisah dengan orang-orang yang kita cintai. Termasuk anak saya sendiri. Toh,
kita semua nantinya juga akan kembali kepada Allah. Haloo.. apakah nona
Angelina masih menyimak cerita saya.”
“Ya,” jawabnya singkat. Ketus.
“Sayangnya biaya pengobatan kanker terbilang
fantastis. Anda tahu, penyakit kanker sepertinya penyakit orang kaya dengan
tabungan di bank dan asuransi hingga hari tua. Adapun saya? Ah siapalah saya
ini. Saya juga dibantu dan dihutangi
oleh beberapa kawan. Tetapi tetap saja masih kurang. Alhamdulillah masih banyak
orang baik di dunia ini yang membantu
pengobatan bagi anak saya. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa, Allah itu hanya
menguji menurut kemampuan kita. Kita hanya diminta oleh Allah menjalani takdir
ini sebaik mungkin. Kita juga diminta oleh mencari rezeki dari jalan yang
halal. Halo nona Angelina.”
Si manis Angelina tidak menjawab.
Keberadaannya hanya diwakili oleh suara dehemnya. Tapi itu sudah cukup bagiku,
kecuali ceritaku.
“Saya ikhlas saja Allah memgambil itu
semua. Insya Allah nantinya akan
mengganti dengan yang lebih baik. Tentu saja atas izin Nya, anak saya akan sembuh.
Saya tidak heran itu semua. Karena segala sesuatunya telah tertulis dalam kitab
Lauhul Mahfuz.”
Aku mengatur nafasku sebelum
melanjutkan cerita.
“Yang membuat heran, Nona
Angelina, adalah ketika ada orang-orang
di dunia ini yang bekerja dengan menipu orang lain. Ayolah, siapa sich di dunia
ini yang tidak memerlukan uang. Siapa yang tidak ingin membeli mobil, gadget
terbaru..”
Bla..bla.. Kucurhati Nona Angelina
tadi sampai pada titik tertentu aku tersadar.
“Halo, apakah Anda masih di sana?”
Sepertinya aku sudah terlalu banyak
mengambil waktu darinya. Oya, lalu bagaimana cerita tentang kartu kredit tadi?
Adapun kartu kredit akhirnya dengan selamat dan sentosa tanpa kurang satu
apapun sampai juga di rumahku. Sudah beberapa bulan ini kartu kredit dari
negeri seberang tadi meringkuk kesepian dalam amplopnya. Sedikitpun tidak aku
belai-belai apalagi aku gesek-gesek seperti cara kerjanya di toko-toko yang
menerimanya. Nol rupiah pun belum keluar dari perutnya yang langsing. Begitulah
nasibnya. Padahal kartu kredit tadi sudah menempuh jarak yang cukup jauh demi
memberikan hutangnya padaku. Kasihan. Tetapi aku bersyukur aku tidak sempat terjerat rayuan dari Kartu Kredit. Jujur saat ini aku belum siap memilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar