Kamis, 10 Oktober 2013

Cerita Tentang Kartu Kredit dan Biaya Leukemia





Buat Anda yang tidak suka diceramahi, artikel ini akan sangat membosankan. Tetapi memang begitulah adanya. Kurang dan lebih begitulah ceritanya. Diawali ketika aku di telpon oleh sebuah perusahaan perbankan di Jakarta. Tidak tanggung-tanggung langsung menawarkan hutang alias kartu kredit. Berawal di bulan  November yang lalu tatkala aku mendaftakan diri membuka simpanan di bank swasta. Yang menarik dari bank tadi adalah layanan Air Asia Saver. Ini artinya aku tidak perlu berlayanan pada travel untuk memesan tiket ke Malaysia dan sebaliknya. Sekedar informasi, selama kurun waktu delapan bulan ini, hampir 6 kali aku pulang pergi Malasyia-Indonesia. Hal ini dikarenakan aku masih bekerja di Aceh. Begitu juga dengan nasib Muthia dan Faiza yang masih tercatat sebagai seorang siswa pada sekolah swasta di Aceh.
Nah, setelah aku mendaftarkan diri pada layanan AirAsia Saver tadi, aku mulai ditelepon dari  Jakarta. Pertama kali adalah operator kartu kredit yang memberikan pertanyaan, semacam survey. Lalu mereka menawarkan diri kartu kredit padaku. Gratis tanpa bunga selama dua tahun. Wow gitu loh. Maklum, selama ini aku hanya meminjam dari lembaga non formal alias dari teman-teman di sekelilingku. Kini ada sebuah lembaga formal yang tiba-tiba menawarkan diri untuk memberikan hutangan. Sebagai orang kampong yang terkadang masih menyimpan uang di bawah bantal dan melakukan transaksi dengan cara yang simple, aku merasa tidak biasa dengan tawaran dari sebuah lembaga formal dari seberang laut sana, asing dan agak jauh. 
Kebutuhan berobat Zaim dengan jenis penyakit Leukemia memang memerlukan biaya yang cukup besar. Tawaran hutang—termasuk dari Bank—dikala kondisi keuanganku sedang seret selepas menjual sekian asset, ibarat tawaran minum Es Teller ditengah bulan puasa Ramadhan; sangat mengiurkan. Aku sendiri agak trauma dengan kartu kredit mengingat dulu ada seorang kawan kantor yang tiap hari ditelpon setengah diteror. Selidik punya selidik kawan tadi tersangkut masalah kartu kredit.
Tapi bukan ini cerita yang ingin aku tuliskan. Sejak menerima kartu tersebut, aku ditelpon oleh beberapa perempuan baik dengan suara lembut merayu ataupun setengah sadis menanyakan kartu kredit. Isi pembicaraan biasanya seputar apakah aku sudah menggunakan kartu tersebut, apakah sudah menerima pin nya juga informasi lain bahwa jika aku rajin dan tekun menggunakan kartu tersebut maka aku akan dijanjikan mengikuti undian. Tentu saja hadiah undiannya adalah barang mahal seperti mobil, tab, iphone ataupun barang canggihnya. Luar biasa memang orang di seberang sana.  Bukan hanya menawari hutang. Bahkan dengan hutang pun ada hadiah undiannya. Seingatku di koperasi yang paling canggih di negeriku, apakah itu koperasi masjid, koperasi pasar, koperasi perempuan apalagi koperasi pengusaha krupuk, tidak ada yang memberikan hutang sambil memberikan hadiah yang mahal serajin apapun menjadi anggota koperasi. Paling banter mendekati Hari Raya hanya akan dibagi beras dan syrup tjap Patung, itupun jika sudah melunasi hutangnya. Nggak ada yang mengiming-imingi memberikan hadiah tablet, iphone apalagi mobil. Aih aih.
Pada awalnya aku mengira bahwa informasi mengenai layanan hadiah itu resmi dari perbankan. Belakangan setelah aku tanyakan ke bank tersebut, informasi  mengenai kartu kredit dengan penawaran hadiah yang aduhai tadi rupanya sesat. Mereka mengingatkan bahwa akhir-akhir ada ini banyak pemegang kartu kredit yang menjadi sasaran penipuan. Setelah aku kunyah-kunyah informasi tersebut benar adanya. Biasanya operator perusahaan perbankan yang menawarkan kartu kredit, mereka akan menelepon dengan nomor resmi dari kantor. Diawali dengan menyebutkan  lalu mengalirlah suaranya yang jernih.  Sang operator akan menjelaskan dengan tenang dan pembawaan yang tenang sekalipun ujung-ujungnya menawarkan hutang. Aku bahkan seolah mampu mencium bau parfum mbak-mbak operator  maupun dinginnya semprotan udara Air Conditioner dalam ruangan tersebut. Mereka biasanya menggunakan layanan provider telepon resmi yang memiliki angka tidak lebih dari lima digit. Sementara perusahaan penipu, operator palsu akan menelpon dengan handphone murahan. Suaraya bemirisik dan yang lebih parah lagi sering gonta-ganti nomor telepon. Dugaanku strategi licik ini dipakai agar tidak tidak tertangkap aparat, mereka akan telepon dari ruangan yang tidak kedap suara. Apakah itu di dekat toilet, pasar ikan ataupun duduk sambil menyantap siomay murahan sambil mulutnya mengoceh kepada orang yang akan ditipunya tentang mobil, tablet ataupun gadget yang buat mereka sendiri asing. Aku yakin  setelah menutup teleponnya dia akan berteriak, “Bang, sausnya kurang nich.” Aku bahkan seolah mampu menghirup deodorant murahan ataupun bau saus yang dicampur dengan pewarna tekstil dan boraks biar awet sekalipun setahun dipakai. Ujung-ujungnya mereka akan meminta nomor pin kartu kredit kita. Di dunia, juga di negeri yang kucintai bernama Indonesia, modus tipu menipu melalui dunia maya merupakan sebuah fenomena yang mewabah. Perampok tak perlu lagi datang ke Bank untuk merampok uang. Mereka bisa mencuri dengan hanya duduk di depan computer sambil menghirup kopi. Juga melalui kartu kredit. Maka bukan tanpa bermksud main hakim sendiri, suatu kali ketika operator palsu dengan deodorant tadi kembali melancarkan aksinya, aku melakukan serangan balik. Begini percakapannya.
“Halo, dengan pak Wayir Nuri.”
“Iya.”
“Bapak pengguna kartu kredit ini khan…,” ujarnya sambil memperkenalkan produk dan tawaran hadiah.
“Terima kasih atas tawarannya. Tapi boleh saya yang giliran bicara?”
Operator itu tampak bergumam. Dia sudah menjadikan pembicaraan sebagai media menipu orang. Kalau aku yang bicara, mungkin dia mengira aku akan balik menipunya.
“Silahkan pak.”
“Begini ya. Sebenarnya ini bukan konsumsi Anda. Siapa nama nona tadi.”
“Angelina, Pak.”
“Aduh nama yang sangat cantik.”
“Terima kasih.”
“Nona Angelina, ini mungkin tidak ada hubungannya dengan Anda. Tapi dengarkan cerita saya. Barangkali beban saya agak berkurang setelah ada orang yang mau mendengar cerita saya. Begini, anak saya itu divonis kanker darah. Dan saya memerlukan dana sangat banyak. Saya sudah menjual sepeda motor, mobil dan pernah berfikiran menjual rumah. Nona tahu, saya perlu mengumpulkan waktu bertahun-tahun demi membeli sebuah sepeda motor dan mobil butut itu. Tapi Allah menariknya benda titipannya tadi dalam hitungan menit. Saya ikhlas saja karena benda-benda itu titipan dari Nya. Saya hanya meminta semoga Allah menyembuhkan anak saya. Saya tidak pernah khawatir kalau berpisah dengan orang-orang yang kita cintai. Termasuk anak saya sendiri. Toh, kita semua nantinya juga akan kembali kepada Allah. Haloo.. apakah nona Angelina masih menyimak cerita saya.”
“Ya,” jawabnya singkat. Ketus.
 “Sayangnya biaya pengobatan kanker terbilang fantastis. Anda tahu, penyakit kanker sepertinya penyakit orang kaya dengan tabungan di bank dan asuransi hingga hari tua. Adapun saya? Ah siapalah saya ini. Saya juga dibantu dan  dihutangi oleh beberapa kawan. Tetapi tetap saja masih kurang. Alhamdulillah masih banyak orang baik di dunia ini  yang membantu pengobatan bagi anak saya. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa, Allah itu hanya menguji menurut kemampuan kita. Kita hanya diminta oleh Allah menjalani takdir ini sebaik mungkin. Kita juga diminta oleh mencari rezeki dari jalan yang halal. Halo nona Angelina.”
Si manis Angelina tidak menjawab. Keberadaannya hanya diwakili oleh suara dehemnya. Tapi itu sudah cukup bagiku, kecuali ceritaku.
“Saya ikhlas saja Allah memgambil itu semua.  Insya Allah nantinya akan mengganti dengan yang lebih baik. Tentu saja atas izin Nya, anak saya akan sembuh. Saya tidak heran itu semua. Karena segala sesuatunya telah tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuz.”
Aku mengatur nafasku sebelum melanjutkan cerita. 
“Yang membuat heran, Nona Angelina,  adalah ketika ada orang-orang di dunia ini yang bekerja dengan menipu orang lain. Ayolah, siapa sich di dunia ini yang tidak memerlukan uang. Siapa yang tidak ingin membeli mobil, gadget terbaru..”
Bla..bla.. Kucurhati Nona Angelina tadi sampai pada titik tertentu aku tersadar.
“Halo, apakah Anda masih di sana?”
Sepertinya aku sudah terlalu banyak mengambil waktu darinya. Oya, lalu bagaimana cerita tentang kartu kredit tadi? Adapun kartu kredit akhirnya dengan selamat dan sentosa tanpa kurang satu apapun sampai juga di rumahku. Sudah beberapa bulan ini kartu kredit dari negeri seberang tadi meringkuk kesepian dalam amplopnya. Sedikitpun tidak aku belai-belai apalagi aku gesek-gesek seperti cara kerjanya di toko-toko yang menerimanya. Nol rupiah pun belum keluar dari perutnya yang langsing. Begitulah nasibnya. Padahal kartu kredit tadi sudah menempuh jarak yang cukup jauh demi memberikan hutangnya padaku. Kasihan. Tetapi aku bersyukur aku tidak sempat terjerat rayuan dari Kartu Kredit. Jujur saat ini aku belum siap memilikinya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar