Jumat, 25 Oktober 2013

Mengetuk Pintu Syuga Nya




Para orang tua yang anaknya menderita sakit berat seperti Kanker, 
selalu bertanya dalam hati, “Apa dosa dan kesalahanku, sehingga Allah menimpakan ujian ini kepadaku?”

Itu sebuah pertanyaan yang wajar. Sebagai seorang muslim kita senantiasa dianjurkan untuk banyak beristighfar dan bermuhasabah (menghisab diri). Sebagai manusia, tentu kita pernah, bahkan mungkin sering melakukan dosa dan kesalahan.  Manusia tempatnya lupa dan dosa, begitu para bijak bestari berkata. Rasanya aneh sekali ketika ada manusia di dunia ini yang tidak pernah mengakui kesalahan dan dosanya.
Ujian ini mungkin cara Allah berkomunikasi langsung dengan kita. Mungkin karena sholat kita selama ini kurang khusyuk, terburu-buru dan cepat saji. Mungkin selama ini kita tidak cukup berkontemplasi karena sibuk dengan komputerisasi. Mungkin selama ini kita kurang memberikan perhatian  kepada anak-anak kita atas dasar sibuk mencari materi. Atau mungkin melalui ujian ini, Allah menginginkan untuk sementara atau beberapa lama cuti dari rutinitas kita sehari-hari. Lalu fokus pada ibadah melalui ujian ini. Ujian berupa merawat anak.

Ada sedikit diantara kita yang dulunya banyak melakukan dosa. Lalu Allah sedikit menegur, agar kembali mengingat Nya, kembali ke jalan Nya, kembali bersama Nya. Adapun kebanyakan kita adalah orang tua biasa. Yang  hidup dengan cara menjemput rezeki melalui pintu-pintu yang halal. Mungkin kita hamba Allah yang biasa. Ibadah kita mungkin biasa, sedekah kita mungkin biasa, sholat-sholat kita mungkin juga biasa. Pendeknya kita menjadi manusia biasa. Dalam bahasa singkat, kita mungkin bukan seorang muslim yang sempurna, namun kita juga bukan orang yang bersih dari dosa.
Lalu kenapa hukuman ini tidak ditimpakan kepada para mereka yang hidupnya penuh dengan bercikan dosa, para tiran yang  membunuh demonstran di Lapangan Rabi’ah Al Adawiyah Mesir sana, para koruptor yang membuat hidup kita menderita, juga para penipu yang mengambil uang dari dompet kita? Kenapa Allah memberikan hukuman ini kepada kita, bukan para penjahat-penjahat penentang perintah titah Tuhan?
Mungkin kita sudah menjadi orang tua yang baik, tetangga yang baik dan manusia yang baik. Tetapi Allah menginginkan kita menjadi manusia yang lebih baik, dan lebih baik lagi. Derajat keimanan kita tidak akan pernah sampai kapan pun menyamai Rasul, Nabi dan para Sahabat. Mengapa begitu? Karena ujian yang kita terima jauh lebih ringan daripada ujian para Nabi dan Rasul.  Padahal mereka adalah hamba-hamba terkasih Nya.  Mungkin itulah cara Allah menganggat derajat orang-orang pilihan. Tetapi sesungguhnya ujian ini memotivasi kita untuk berlari mendekati mereka.

Dalam satu catatan sejarah Rasulullah, ada peristiwa yang tidak biasa dengan Ahlul Badar. Mereka yang ikut berperang dengan rasulullah di Badar, sudah pasti dijamin masuk syurga oleh Allah. Sekalipun selepas pulang dari perang Badar itu, mereka bisa jadi melakukan dosa dan kesalahan. Tetapi Allah mengampuni mereka tersebab mereka Ahlul Badar. Itulah salah satu amalan yang selalu membuat cemburu gerenerasi muslimin sesudahnya. Para Ahlul Badar diberikan kelebihan oleh Allah diatas manusia yang lainnya.
Lalu kita bertanya, amal baik apa yang telah kita lakukan di dunia ini? Perbuatan apa yang membuat kita layak masuk syurga Nya? Para orang tua yang merawat anak-anak penderita Kanker dan penyakit kronis lainnya telah melewati malam-malam yang melelahkan, tidur  yang  tidak terpuaskan, harta yang entah berapa telah kita lepaskan, juga kelelahan yang tidak bisa kita definisikan dengan kata-kata. Kata lelah sendiri lelah untuk mendefinisikan kata  lelah. 
Setelah itu semua, dengan tangan tengadah mari kita berdo’a kepada Nya, “ Ya Allah, ridhoilah amal perbuatan kami.  Dan semoga ini semua menjadi amalan terbaik yang mengantarkan kami ke syurga Mu.” Semoga kesabaran, keihlasan dan amalan kita menjadi ribuan, jutaan milyaran pahala yang mampu mengetuk pintu syurga Nya. Allahuma Amien.






Sabtu, 19 Oktober 2013

Sejuta Rasa Merawat Anak Leukemia





            Hari ini, tepat hampir setahun kami mendampingi Zaim melawan Leukemia. Aku masih ingat, tiga hari sebelum Lebaran Haji Tahun 2012 lalu, kami memutuskan berangkat ke Malaysia. Apa perasaan yang saya rasakan setahun yang lalu dengan saat ini? Sejuta warna pelangi rasanya hadir dalam kehidupan ini. Manis, pahit, sedih, gembira, tawa, tangis dan perasaan mewarnai perjalanan setahun ini. Delapan tahun menikah, seperti terasa landai dibanding perasaan mendampingi putraku setahun ini. Sungguh satu tahun yang sangat berat.
Saya dan istri mungkin termasuk  orang tua kebanyakan yang panik begitu mendengar dokter memvonis Kanker Darah.Langit-langit serasa runtuh dan dunia seperti terbalik dalam pikiran kami. Moment-moment paska vonis Kanker hingga rawatan terhadap Zaim,  baik selama di  Aceh ataupun Malaysia rasanya seperti detik-detik terakhir kami dengan Zaim. Perasaan itu terkadang hilang, diganti dengan kegembiraan sementara, sebelum akhirnya datang kembali seiring dengan titik-titik kritis kondisi Zaim. Kami juga merasa tertekan dan shock ketika beberapa kawan Zaim yang berobat Kanker,  satu demi satu berpulang ke Allah. Saat itu kami  mengetahui malaikat maut tengah berdiri diantara anak-anak pesakit Kanker lain, menunggu waktu untuk mengambil nyawa. Yang tidak ketahui hanya manifest alias daftar nama yang tertulis dalam catatan malaikat itu.  Ya Allah, secepat itukah Engkau akan mengambil anakku?
Kami juga harus kelimpungan mencari biaya pengobatan kanker yang jumlahnya wah itu. Jual apalagi, hutang sama siapa lagi. Seumpama manusia hidup diatas tanah, kami terpedam dalam sumur kehidupan; gelap, asing dan sepi. Namun diatas itu semua, kami juga sedih seadainya Zaim diminta kembali oleh Allah. Kesadaran membuat kami  sepenuhnya memahami. Bahwa masalah bukan hanya perlu diresapi. Tetapi perlu ikhtiar untuk mendapatkan takdir terbaik. Mengobati Zaim di Malaysia merupakan bagian dari ikhtiar kami untuk itu. Tentu saja Allah yang duduk di Arasy sana menginginkan kami tidak tinggal diam melihat Zaim yang diserang Kanker Darah.

Zaim bukan satu-satunya anak yang diserang Leukemia dan kami, bukan satu-satunya orang tua yang menderita karena anaknya Leukemia. Cakrawala kehidupan semakin luas tatkala mendapati anak-anak yang berjuang melawan penyakit Kanker Darah dan penyakit Kanker lainnya. Ada diantara mereka yang berpulang kehadirat Allah terlebih dahulu.  Ini sebenarnya sebuah bukti yang sangat jelas bahwa Allah lah yang menyembuhkan. Kemotherapy, Radiotherapy, Herbal dan segala jeni pengobatan lainnya hanya usaha manusia. Ada diantara para pesakit setelah menjalani kemotherapy mendapat predikat survivor karena masih bertahan lebih dari sepuluh tahun sejak diagnosa pertama, ada yang sedang melalui tahap perawatan (maintenance),ada juga yang tengah menjalani pengobatan secara intensif. Beberapa hari, kami malah melihat pasien-pasien yang baru saja mendapat diagnosa menderita Leukemia. Seperti Zaim dulu, anak-anak ini selalu menangis dan menderita karena pengobatan kemotherapy ini akan mencerabut sementara waktu kebahagian dan senyuman mereka. Seperti kami dulu, orang tua yang anaknya divonis kanker akan shock dan frustasi. Kami seperti melihat peristiwa yang sama dengan kondisi kami setahun yang lalu. Inilah perjalanan hidup yang selalu berputar. Semua mendapat giliran ujian, sekalipun dalam bentuk yang berbeda.
Zaim dengan bang Farras, survivor Leukemia.


Takdir Zaim membuka selimut takdir yang lain. Ternyata dunia tidak seperti kita bayangkan. Saat anak kita menderita penyakit akut, hati orang tua akan lebih sensitif terhadap rasa dan perasaan. Juga dalam pergaulan dengan saudara, kawan, tetangga, rekan kerja hingga atasan kita.  Ada orang yang sepertinya dekat dengan kita, tiba-tiba menjauh  begitu kita memerlukan uluran tangan. Ada yang yang sepertinya dekat, lalu bertambah dekat dengan tersebab empati atas penderitaan kita. Itu semua hal yang biasa. Yang tidak biasa adalah ada orang-orang yang selama ini tersembunyi di luar sana, lalu karena Allah menggerakkan hatinya, tiba-tiba orang-orang itu mendekat, membantu, menghibur anak kita, mendengarkan keluhan dan mengusap air mata kita.  Kepada mereka tidak putus-putusnya saya sampaikan jazakumullah khairan katsira.
Zaim bersama bang Bobby dan pengurus Himpunan Mahasiswa Aceh (TARSA)
Pada titik ini, perkenankan saya menyimpulkan. Ujian yang kita terima, sebenarnya bukan hanya menguji kecintaan terhadap anak kita. Tetapi dalam jangkauan yang lebih luas, menguji orang-orang  disekeliling kita, sejauh mana mereka empati terhadap kita, terhadap lingkungan mereka, juga terhadap sabda-sabda Tuhan yang mereka  hayati selama ini atau atas kemanusian yang mereka miliki. Juga terhadap diri kita sendiri, saat orang-orang disekitar kita mengalami hal yang sama. Hikmah yang luar biasa.
Satu tahun yang luar biasa itu, segera kami lewati. Sudah saatnya kami harus kembali menjalani kehidupan dengan sedikit normal. Tanggal 23 Oktober 2013 ini, Insya Allah kami akan pulang. Berbagai macam agenda yang tertunda sudah pasti harus segera ditunaikan. Mengurus kakak-kakak Zaim kembali normal bersekolah, masuk kerja secara normal, mengembalikan piring tetangga, juga melanjutkan cita-cita pribadi dan keluarga.


            Lalu bagaimana dengan si bujang kita bernama Zaim? Perjalanan Zaim melawan kanker masihlah lama. Zaim perlu menjalani masa maintenance dengan minum obat dirumah, lalu sebulan sekali ke rumah sakit untuk  mendapatkan obat kemo melalui jalur suntik dan tiga bulan sekali untuk suntik tulang belakang. Setahun sekali Zaim juga harus general check up.  Beberapa tahun lagi, ketika Zaim akan sunat, dokter-dokter di PPUKM menyarankan untuk membawa Zaim ke rumah sakit ini lagi. Juga sebelum nantinya bujang kita bernama Zaim Abdirahman Nuri ini bermaksud meminang anak gadis orang, dia juga harus meyakinkan pada calon mertua bahwa sel kanker yang ada dalam dirinya sepenuhnya masih tidur dengan lelap atau hilang sama sekali.
Masih banyak agenda dan masih akan ada banyak cerita tentunya. Tapi pada titik ini, kami sudah merasa  bersyukur. Kami mengalami perasaan-perasaan terindah yang belum kami alami sebelumnya. Perasaan bahagia melebihi apapun yang pernah kami rasakan.  Saya merasa seolah-olah ini hari terakhir saya, lalu sebelum jasad ini dikuburkan saya berkata pada dzat Yang Maha memberi kehidupan. “Ya Allah, terima kasih telah memberikan kehidupan yang indah ini. Sesungguhnya kami ridho atas segala takdir Mu. Amien.” 
Life is beuatifull. Subhanallah. 
Mendaki gunung Lhok Mata Ie, Aceh Besar



Catatan Kaki:
Beberapa Kali saya dikirim pesan atau dihubungi oleh pembaca blog ini. Tetapi karena tidak menuliskan nomor handphone, akhirnya banyak pesan yang telat masuk ke Handphone saya.
Untuk itu saya mohon maaf. Awalnya blog ini tidak dibuat sebagai promosi. Melainkan sebagai blog pribadi sebagai wahana curhat dan berbagi pengalaman.

Namun dalan perjalanannya karena banyak kesulitan menghubungi saya, maka saya share nomor handphone dan alamat saya agar bermanfaat. Terima kasih

Handphone :  +62 0813 604 234 78
Whastup : 0813 604 234 78
FB : Wayir Nuri

Alamat :
Komplek Damai Lestari Blok F Nomor 25 Lamreng Darul Imarah Aceh Besar
INDONESIA



Jumat, 11 Oktober 2013

Penyakit Leukemia dan Perjuangan Orang Tua




            Dulu ketika frustasi tersebab besarnya biaya yang harus ditanggung untuk pengobatan Zaim, sempat terlintas dalam pikiranku untuk menjual ginjal. Kenapa harus menjual ginjal? Konon manusia bisa hidup dengan satu ginjal. Alasan tentu saja karena jumlah biaya pengobatan kanker darah (leukemia) yang terbilang aduhai itu. Bahkan sekalipun saat itu aku menjual rumah, mungkin bisa jadi belum cukup.  Bersykur, rencana menjual rumah atau  ginjal itu hanya sampai bab niat alias tidak jadi terealisasi. Allah sudah menyiapkan dana melalui ratusan tangan hamba-hamba Nya. Mereka manusia-manusia biasa seperti manusia kebanyakan. Mereka juga butuh uang, punya masalah dan bisa jadi suka menonton bola. Kelebihannya, Allah membuka hati mereka saat manusia lain tidak dibuka hatinya.
Persoalan frustasi atas beban biaya pengobatan, jelas bukan saya saja yang merasakan.. Banyak orang tua yang merasakan hal yang sama. Seperti apa yang aku rasakan sekalipun dengan jenis penyakit kronis yang berbeda. Dalam benak orang tua tadi, menjual ginjal bisa jadi tidak hanya sampai pada bab niat. Tetapi mungkin sudah terjadi. Ada orang tua yang melakukan segala cara. Demi satu tujuan menyelamatkan anaknya, mengembalikan senyum putranya. Meski untuk itu seorang Ayah mendaki berbagai macam kesulitan. Dunia ini menyediakan berbagai cerita tentang keberanian dan perjuangan seorang Ayah, seorang Ibu diatas jalan cinta. Kita hanya perlu lebih peka terhadap kisah-kisah mereka. 
Salah satu cerita kepahlawanan seorang Ayah adalah John Q. Cerita tentang kepahalawanan untuk anaknya menjadi perhatian bagi public di Chicago, Amerika Serikat. Bermula dari penyakit anaknya yang mengidap pembengkakan jantung. Pihak rumah sakit memberitahu John Q bahwa jika menginginkan putranya sembuh, harus sesegera mungkin mencari pendonor jantung bagi anaknya. Masalahnya menjadi lain ketika John hanya seorang buruh tambang dengan kondisi kehidupan yang bisa dipastikan; hidup pas-pasan, tanpa uang tabungan berarti dan jelas tidak sanggup memiliki asuransi. Maka untuk itu kita sangat terenyuh pada adegan dimana John mengeluarkan barang bernilai dari rumahnya untuk dijual. John dibantu kawan-kawannya sesama buruh yang mengumpulkan uang untuk membantu dirinya.
Sayangnya  semua uang itu tidak cukup bagi pengobatan putranya. Dokter dan pihak rumah sakit tidak mau mengobati putranya sebelum John membayar lunas operasi jantung—Rumah sakit di luar negeri seperti Amerika Serikat, Malaysia atau Singapura menghendaki pasien membayar down payment sebelum berobat. Rumah sakit tidak mau rugi karena orientasinya hanya bisnis. Merasa frustasi dan bingung oleh kondisi, John mengambil cara tidak biasa. Ya, John menyandera petugas rumah sakit termasuk pasien-pasiennya. Cara ini mungkin keliru. Tapi dari situ kita memahami bahwa bukan penyanderaan motif utama John. Melalui CCTV rumah sakit, media dan masyarakat tahu apa yang terjadi. Aksi nekat John justru mendapat dukungan masyarakat. Mereka simpati atas upaya menyelamatkana anaknya. Tidak sedikit pasien yang awalnya disandera oleh John, justru balik bersimpati kepadanya. Film ini memiliki kisah ending bahagia. Pihak rumah sakit akhirnya terpaksa mengoperasi jantung anaknya, sementara John sendiri harus rela menghabiskan sebagian hidupnya di penjara.

Saya tidak tahu apakah film ini berdasarkan kisah nyata atau hanya rekaan. Tetapi menonton film ini kita mampu merasakan dahsyatnya kekuatan cinta seorang Ayah. Dia rela memberikan hidupnya kepada putranya tercinta. Sekalipun John harus masuk penjara karena menyandera petugas rumah sakit, tetapi dalam taksi menuju tempat hukuman, dia gembira. Film yang mengurai air mata namun menghangatkan jiwa ini diperankan dengan sangat emosional oleh Denzel Washington.

Di belahan bumi lainnya, ada orang tua yang tidak kalah inspiratif. Namanya Susan Taylor. Umurnya baru 34. Susan nekatmengarungi samudera dari daratan Inggris pada Ahad pagi waktu setempat, 13 Juli 2013, menuju Prancis. Aksi heroik itu bukan untuk sekedar memuaskan hobi sebagai atlit renang. Tetapi lebih pada upaya penggalangan dana untuk berobat anaknya yang sedang dirawat di Diabetes UK and the Rainbows Children’s Hospice di Loughborough. Sebelumnya, tim pendukung Taylor mengunggah foto-foto perjalanan renangnya di laman Facebook hari itu, Ahad, 13 Juli 2013.
Melalui halaman facebook, tim pendukung Susan Taylor  juga meminta para sahabatnya memberikan pesan dukungan agar  bisa digunakan untuk keperluan penggalangan dana untuk anaknya. Sayangnya aksi heroik Susan Taylor tersebut berakhir tragis. Beberapa mil sebelum memasuki pantai Prancis, dirinya mengalami ‘kondisi serius’ yang berakibat pada kematian. 

Di Arab Saudi sendiri, ada lelaki bernama Ahmed al Fhuaiqi dan istrinya menawarkan ginjal mereka untuk membiayai perawatan anak laki-lakinya yang baru berumur 19 bulan. Para dokter di Pusat Klinik Raja Fahd, Kota Jouf, mengatakan Al Fhuaiqi dan istrinya terpaksa melakukan hal itu lantaran pengobatan penyakit jantung yang diderita putranya tidak dapat dilakukan paramedis setempat. Di Indonesia, ada seorang ayah yang berdiri di Bundaran Indonesia Jakarta menawarkan untuk menjual ginjalnya. Uang penjualan ginjal tersebut rencananya akan dipakai untuk menebus ijazah anaknya. Namun sebelum terealisir, ayah tadi dipanggil oleh Menteri M. Nuh untuk diberikan uang bagi menebus ijazah anaknya.

Pada titik ini, saya sepenuhnya sadar. Setiap momentum yang datang kepada kita, apakah itu kebagiaan atau kemalangan, membuka jalan takdir bernama ladang pahala. Bagi mereka orang tua yang saat ini tengah bertarung mempertahankan nyawa anaknya, ingatlah penderitaan ini tidak lama. Allah tidak akan pernah ingin membenci kita. Allah menyayangi kita melalui cara yang tidak biasa. Dan kita semua mampu merasakannya, bahwa Allah tengah berbicara dengan kita. Saat ini. Detik ini. Melalui media bernama sakit anak kita.

Kamis, 10 Oktober 2013

Cerita Tentang Kartu Kredit dan Biaya Leukemia





Buat Anda yang tidak suka diceramahi, artikel ini akan sangat membosankan. Tetapi memang begitulah adanya. Kurang dan lebih begitulah ceritanya. Diawali ketika aku di telpon oleh sebuah perusahaan perbankan di Jakarta. Tidak tanggung-tanggung langsung menawarkan hutang alias kartu kredit. Berawal di bulan  November yang lalu tatkala aku mendaftakan diri membuka simpanan di bank swasta. Yang menarik dari bank tadi adalah layanan Air Asia Saver. Ini artinya aku tidak perlu berlayanan pada travel untuk memesan tiket ke Malaysia dan sebaliknya. Sekedar informasi, selama kurun waktu delapan bulan ini, hampir 6 kali aku pulang pergi Malasyia-Indonesia. Hal ini dikarenakan aku masih bekerja di Aceh. Begitu juga dengan nasib Muthia dan Faiza yang masih tercatat sebagai seorang siswa pada sekolah swasta di Aceh.
Nah, setelah aku mendaftarkan diri pada layanan AirAsia Saver tadi, aku mulai ditelepon dari  Jakarta. Pertama kali adalah operator kartu kredit yang memberikan pertanyaan, semacam survey. Lalu mereka menawarkan diri kartu kredit padaku. Gratis tanpa bunga selama dua tahun. Wow gitu loh. Maklum, selama ini aku hanya meminjam dari lembaga non formal alias dari teman-teman di sekelilingku. Kini ada sebuah lembaga formal yang tiba-tiba menawarkan diri untuk memberikan hutangan. Sebagai orang kampong yang terkadang masih menyimpan uang di bawah bantal dan melakukan transaksi dengan cara yang simple, aku merasa tidak biasa dengan tawaran dari sebuah lembaga formal dari seberang laut sana, asing dan agak jauh. 
Kebutuhan berobat Zaim dengan jenis penyakit Leukemia memang memerlukan biaya yang cukup besar. Tawaran hutang—termasuk dari Bank—dikala kondisi keuanganku sedang seret selepas menjual sekian asset, ibarat tawaran minum Es Teller ditengah bulan puasa Ramadhan; sangat mengiurkan. Aku sendiri agak trauma dengan kartu kredit mengingat dulu ada seorang kawan kantor yang tiap hari ditelpon setengah diteror. Selidik punya selidik kawan tadi tersangkut masalah kartu kredit.
Tapi bukan ini cerita yang ingin aku tuliskan. Sejak menerima kartu tersebut, aku ditelpon oleh beberapa perempuan baik dengan suara lembut merayu ataupun setengah sadis menanyakan kartu kredit. Isi pembicaraan biasanya seputar apakah aku sudah menggunakan kartu tersebut, apakah sudah menerima pin nya juga informasi lain bahwa jika aku rajin dan tekun menggunakan kartu tersebut maka aku akan dijanjikan mengikuti undian. Tentu saja hadiah undiannya adalah barang mahal seperti mobil, tab, iphone ataupun barang canggihnya. Luar biasa memang orang di seberang sana.  Bukan hanya menawari hutang. Bahkan dengan hutang pun ada hadiah undiannya. Seingatku di koperasi yang paling canggih di negeriku, apakah itu koperasi masjid, koperasi pasar, koperasi perempuan apalagi koperasi pengusaha krupuk, tidak ada yang memberikan hutang sambil memberikan hadiah yang mahal serajin apapun menjadi anggota koperasi. Paling banter mendekati Hari Raya hanya akan dibagi beras dan syrup tjap Patung, itupun jika sudah melunasi hutangnya. Nggak ada yang mengiming-imingi memberikan hadiah tablet, iphone apalagi mobil. Aih aih.
Pada awalnya aku mengira bahwa informasi mengenai layanan hadiah itu resmi dari perbankan. Belakangan setelah aku tanyakan ke bank tersebut, informasi  mengenai kartu kredit dengan penawaran hadiah yang aduhai tadi rupanya sesat. Mereka mengingatkan bahwa akhir-akhir ada ini banyak pemegang kartu kredit yang menjadi sasaran penipuan. Setelah aku kunyah-kunyah informasi tersebut benar adanya. Biasanya operator perusahaan perbankan yang menawarkan kartu kredit, mereka akan menelepon dengan nomor resmi dari kantor. Diawali dengan menyebutkan  lalu mengalirlah suaranya yang jernih.  Sang operator akan menjelaskan dengan tenang dan pembawaan yang tenang sekalipun ujung-ujungnya menawarkan hutang. Aku bahkan seolah mampu mencium bau parfum mbak-mbak operator  maupun dinginnya semprotan udara Air Conditioner dalam ruangan tersebut. Mereka biasanya menggunakan layanan provider telepon resmi yang memiliki angka tidak lebih dari lima digit. Sementara perusahaan penipu, operator palsu akan menelpon dengan handphone murahan. Suaraya bemirisik dan yang lebih parah lagi sering gonta-ganti nomor telepon. Dugaanku strategi licik ini dipakai agar tidak tidak tertangkap aparat, mereka akan telepon dari ruangan yang tidak kedap suara. Apakah itu di dekat toilet, pasar ikan ataupun duduk sambil menyantap siomay murahan sambil mulutnya mengoceh kepada orang yang akan ditipunya tentang mobil, tablet ataupun gadget yang buat mereka sendiri asing. Aku yakin  setelah menutup teleponnya dia akan berteriak, “Bang, sausnya kurang nich.” Aku bahkan seolah mampu menghirup deodorant murahan ataupun bau saus yang dicampur dengan pewarna tekstil dan boraks biar awet sekalipun setahun dipakai. Ujung-ujungnya mereka akan meminta nomor pin kartu kredit kita. Di dunia, juga di negeri yang kucintai bernama Indonesia, modus tipu menipu melalui dunia maya merupakan sebuah fenomena yang mewabah. Perampok tak perlu lagi datang ke Bank untuk merampok uang. Mereka bisa mencuri dengan hanya duduk di depan computer sambil menghirup kopi. Juga melalui kartu kredit. Maka bukan tanpa bermksud main hakim sendiri, suatu kali ketika operator palsu dengan deodorant tadi kembali melancarkan aksinya, aku melakukan serangan balik. Begini percakapannya.
“Halo, dengan pak Wayir Nuri.”
“Iya.”
“Bapak pengguna kartu kredit ini khan…,” ujarnya sambil memperkenalkan produk dan tawaran hadiah.
“Terima kasih atas tawarannya. Tapi boleh saya yang giliran bicara?”
Operator itu tampak bergumam. Dia sudah menjadikan pembicaraan sebagai media menipu orang. Kalau aku yang bicara, mungkin dia mengira aku akan balik menipunya.
“Silahkan pak.”
“Begini ya. Sebenarnya ini bukan konsumsi Anda. Siapa nama nona tadi.”
“Angelina, Pak.”
“Aduh nama yang sangat cantik.”
“Terima kasih.”
“Nona Angelina, ini mungkin tidak ada hubungannya dengan Anda. Tapi dengarkan cerita saya. Barangkali beban saya agak berkurang setelah ada orang yang mau mendengar cerita saya. Begini, anak saya itu divonis kanker darah. Dan saya memerlukan dana sangat banyak. Saya sudah menjual sepeda motor, mobil dan pernah berfikiran menjual rumah. Nona tahu, saya perlu mengumpulkan waktu bertahun-tahun demi membeli sebuah sepeda motor dan mobil butut itu. Tapi Allah menariknya benda titipannya tadi dalam hitungan menit. Saya ikhlas saja karena benda-benda itu titipan dari Nya. Saya hanya meminta semoga Allah menyembuhkan anak saya. Saya tidak pernah khawatir kalau berpisah dengan orang-orang yang kita cintai. Termasuk anak saya sendiri. Toh, kita semua nantinya juga akan kembali kepada Allah. Haloo.. apakah nona Angelina masih menyimak cerita saya.”
“Ya,” jawabnya singkat. Ketus.
 “Sayangnya biaya pengobatan kanker terbilang fantastis. Anda tahu, penyakit kanker sepertinya penyakit orang kaya dengan tabungan di bank dan asuransi hingga hari tua. Adapun saya? Ah siapalah saya ini. Saya juga dibantu dan  dihutangi oleh beberapa kawan. Tetapi tetap saja masih kurang. Alhamdulillah masih banyak orang baik di dunia ini  yang membantu pengobatan bagi anak saya. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa, Allah itu hanya menguji menurut kemampuan kita. Kita hanya diminta oleh Allah menjalani takdir ini sebaik mungkin. Kita juga diminta oleh mencari rezeki dari jalan yang halal. Halo nona Angelina.”
Si manis Angelina tidak menjawab. Keberadaannya hanya diwakili oleh suara dehemnya. Tapi itu sudah cukup bagiku, kecuali ceritaku.
“Saya ikhlas saja Allah memgambil itu semua.  Insya Allah nantinya akan mengganti dengan yang lebih baik. Tentu saja atas izin Nya, anak saya akan sembuh. Saya tidak heran itu semua. Karena segala sesuatunya telah tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuz.”
Aku mengatur nafasku sebelum melanjutkan cerita. 
“Yang membuat heran, Nona Angelina,  adalah ketika ada orang-orang di dunia ini yang bekerja dengan menipu orang lain. Ayolah, siapa sich di dunia ini yang tidak memerlukan uang. Siapa yang tidak ingin membeli mobil, gadget terbaru..”
Bla..bla.. Kucurhati Nona Angelina tadi sampai pada titik tertentu aku tersadar.
“Halo, apakah Anda masih di sana?”
Sepertinya aku sudah terlalu banyak mengambil waktu darinya. Oya, lalu bagaimana cerita tentang kartu kredit tadi? Adapun kartu kredit akhirnya dengan selamat dan sentosa tanpa kurang satu apapun sampai juga di rumahku. Sudah beberapa bulan ini kartu kredit dari negeri seberang tadi meringkuk kesepian dalam amplopnya. Sedikitpun tidak aku belai-belai apalagi aku gesek-gesek seperti cara kerjanya di toko-toko yang menerimanya. Nol rupiah pun belum keluar dari perutnya yang langsing. Begitulah nasibnya. Padahal kartu kredit tadi sudah menempuh jarak yang cukup jauh demi memberikan hutangnya padaku. Kasihan. Tetapi aku bersyukur aku tidak sempat terjerat rayuan dari Kartu Kredit. Jujur saat ini aku belum siap memilikinya.