Sebagai pesakit di negara
orang, sudah barang tentu aku mengurus visa untuk Zaim dan istri tercinta. Visa
tetap harus diurus sekalipun Zaim memerlukan perhatian selama rawatan awal
kemotherapy di hospital. Pertama kali masuk ke Malaysia, pasport kami hanya di
cap dengan visa social(social visa) kujungan yang berlaku selama 30 hari.
Meskipun mendampingi Zaim yang tengah mengerang kesakitan di rumah sakit
perkara yang sangat penting, mengurus visa tidak kalah penting. Keterlambatan memperpanjang
visa dapat berakibat fatal. Kalau hukuman denda masih lumayan. Yang menyakitkan
adalah kalau harus mencicipi dinginnya penjara kurungan di Malaysia.
Aku harus berkonsultasi
dengan beberapa rekan yang pernah mengurus visa. Perlu dipahami, bahwa pihak
imigrasi Malaysia tidak hanya mengeluarkan satu jenis visa. Ada beberapa jenis
visa yang dikeluarkan seperti visa kerja, visa belajar, visa melawat, visa
berubat dan beberapa jenis visa lainnya. Setiap jenis visa memiliki prosedur
yang berbeda, biaya yang berbeda sekalipun bermuara di tempat yang sama, yaitu
imigrasi. Putrajaya salah satu tempatnya.
Sebelum ke Putrjaya aku sempat diarahkan ke Shah Alam. Ditolak. Lalu
tersesat di Imigrasi Kelana Jaya. Diterima calo tapi ditolak pihak imigrasi
karena mereka hanya mengeluarkan pasport. Singkat cerita akhirnya aku harus
mengurus ke Putrajaya.
Sebelum mengadu nasib ke
Putrajaya, aku sempat konsul dengan bang Zulkifli vis BBM. (kenapa nggak dari awal ya?).
Aku perlu menyiapkan dokumen atau surat kecil dari rumah sakit. Surat
ini intinya menerangkan bahwa Zaim tengah dirawat di HUKM. Surat tersebut juga
menerangkan bahwa Zaim mengidap Leukemia (kanker darah) dan memerlukan rawatan
intensif selama 1 tahun dan rawatan maintenance selama 3 tahun. Aku tidak menyangka bahwa selembar surat yang
dikeluarkan pihak hospital tersbeut terbukti ampuh untuk meyakinkan pihak
Imigrasi Malaysia. Mohon maaf, di Indonesia terkadang kita sudah mendapatkan
rekomendasi dari kepala desa hingga imam mesjid raya, puskemas sampai dukun
sunat, kantor cmat hingga pejabat pembuat KTP, atau rekomenasi dari lembaga
yang diminta, terkadang tidak cukup untuk meyakinkan pihak Imigrasi (tepok jidat). Di Malaysia hanya dengan
selembar surat yang kalau tidak salah dikeluarkan oleh dokter coas, sudah cukup
efektif. Belum lagi kalau yang mengeluarkan surat tersebut dokter speasilis
atau direktur hospital. Disini harus
diakui bahwa tingkat kepercayaan antar instansi atau departemen di Malaysia
begitu kuat. Beda dengan Indonesia. Sesama instansi penegak hukum saja
berkelahi. Astaghfirullahal ‘adzim
Putrajaya terletak jauh
di luar Kuala Lumpur. Jika menggunakan taksi, satu kali jalan kita memerlukan
perjalanan kurang lebih 1 jam (tanpa macet) dengan biaya kurang lebih 30-40
ringgit. Karena tengah program berhemat dan mencari petualangan, aku berangkat
dari hospital dengan taksi sampai Bandar Tasik Selatan (6 ringgit). Lalu
melanjutkan dengan train KLIA Transit turun di Purtraja (5,3 ringgit). Sampai
terminat Putrajaya, naik bus Nadi Putra jurusan Putraja dengan tarif 50 sen.
Sampai di Imigrasi, aku diminta mengisi borang (namanya agak aneh, tapi
maksudnya adalah formulir), mengambil nomor antrian, dipanggil, ditanya-tanya
dikit (dikit aja), suruh duduk, dipanggil lagi, membayar, lalu setelah itu
dipanggil lagi dengan mengantongi Visa Berubat untuk Zaim dan istri. Alhamdulillah.
Cepat sekali. Padahal aku sudah siapkan mental, 3 hari atau seminggu lagi harus
datang seperi prosedur di Imigrasi Indonesia.
Bukan perkara tidak mau
sebenarnya. Tapi waktu kita habis hanya untuk bolak-balik mengurus visa.
Makanya begitu tahu bahwa mengurus visa di Malaysia hanya memerlukan waktu satu
hari, rasanya tidak percaya. “Ahhh, Encik
pasti bercanda. Puan jangan main-main dengan sayalah. Walaupun rada-rada
tampan, saya ini sudah punya istri dan tiga anak. Ini pasti bukan ciri birokasi
yang baik seperti di negeri saya. Konon negeri yang baik itu punya prinsip
begini,”Kalau bisa dibuat lambat, kenapa harus cepat. Kalau bisa dibuat
berkali-kali, kenapa harus sekali.”Di Negeri yang kucintai setengah mati itu,
negara hadir melalui birokasi yang sangat tidak efisien. Ketika kutuliskan
catatan dalam blog ini, Indonesia tengah sibuk dengan isu KTP. Setelah menunggu
waktu yang lama, ribut di DPR, ribut di Masyarakat, E KTP akhirnya ketahuan
hanya dapat difotokopi sekali (makkkk...). E KTP masih kalah jauh dengan Kartu
Pelajar yang dapat dijadikan ATM sekalian.
Kembali ke khutbah saya tentang Visa,
begini rincian biaya untuk pengurusan visa:
Visa Berubat Istri (Aplikasi pertama) RM 500,00
Pas rawatan RM 200,00
Visa Berubat Zaim (Aplikasi pertama) RM 500,00
Pas rawatan (anak-anak) RM 90,00
Total Biaya RM 1290,00
Angka itu memang terasa
berat diawal. Namun jika kita mau sabar tidak keluar dari Malaysia, maka untuk
biaya perpanjangan akan jauh lebih murah. Kenapa begitu? Visa berubat hanya
diberikan untuk jenis Single. Artinya visa tersebut akan mati ketika kita atau
anak kita yang sakit keluar dari Malaysia. Apakah itu jalan-jalan ke Singapore,
Thailad apalagi pulang ke Indonesia. Saya berharap bahwa Indonesia segara
memiliki birokrasi yang profesional namun efisien. Sehingga nantinya orang luar
negeri akan jenak berada di Indonesia sekalipun mereka harus mengurus
visa. Jadi kalau ada orang luar negeri yang
beriktiar mencari pengobatan di Indonesia seperti saya saat ini, tidak perlu bertambah beban hidup dengan
birokrasi yang ribet. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar