Senin, 20 Mei 2013

Arti Sebuah Keluarga


 
“Aim mau pulang Aceh. Aim dah sembuh ni”
Tanggal 15 Mei lalu, aku, Muthia dan Faiza pulang ke Aceh. Kami tiba di Kuala Lumpur pada tanggal 17 April 2013 untuk melanjutkan rawatan kanker Zaim.  Karena menggunakan visa social, maka kami hanya dapat ditinggal untuk jangka waktu 30 hari. Zaim saat itu menangis ketika melihat orang-orang di dekat mereka pergi. Zaim juga mau ikut pulang ke Aceh seperti bulan sebelumnya tatkala ada rehat antara satu fase dengan fase lain.  Seandainya tidak berfikir mengenai kelanjutan sekolah Muthia dan Faiza, juga tanggung jawabku di kantor, mungkin aku akan memilih bertahan di Malaysia. Mencari nafkah apapun asalkan halal. Bagiku, tidak ada hal yang lebih penting dalam sebuah keluarga kecuali bersamaan.
Di Malaysia kami hanya satu ruangan untuk dipakai bersama-sama. Ruang tidur di situ, ruang bermain di situ, ruang makan pun disitu. Tapi dari situlah mungkin Allah menerangkan ketenangan atau sakinah kepada kami. Mendapatkan ketenangan merupakan impian setiap pasangan yang telah menikah. Tidak ada cita-cita yang lebih tinggi dalam romansa pernikahan kecuali memperoleh sakinah, mawaddah dan rahmah. Setelah delapan tahun menikah, aku baru sadar. Bahwa terkadang sakinah atau ketenangan itu hadir sebuah rumah tangga dipenuhi oleh harta. Bukan. Bukan itu. Terkadang ketenangan diperoleh justru kita memperoleh ujian. Di saat Allah memberikan ujian dan mengambil sebagian kenikmatan, saat itulah Allah mengantikan kita dengan ketenangan.  Allah selalu menepati janjinya. Ketika Allah mengambil sebagian kecil dari nikmat yang dititipkan pada kita, saat itu juga Allah mengantikan dengan nikmat yang lain. Allah telah menitipkan sepeda motor, mobil dan beberapa uang kepadaku. Lalu semua itu diambil oleh Allah melalui sakit kanker darah yang Allah berikan pada Zaim. Aku selalu percaya. Bahwa suatu saat nanti, setelah Zaim sembuh, Allah pasti akan menitipkan  yang lebih baik.
Selama di Malaysia, kakak-kakanya selalu mendampingi Zaim menjalani kemotherapy. Muthia sesekali akan ikut ke daycare. Sebelum jarum suntik menyentuh kulit Zaim, Muthia akan cerita terlebih dahulu kepada adiknya. Juga Faiza. Faiza memang tidak pandai bercerita seperti kakaknya. Tetapi Faiza selalu setia untuk mendampingi Zaim bermain puzzle atau mainan bongkar pasang.  Kehadiran Muthia dan Faiza sedikit banyak mengurangi penderitaan Zaim selama menjalani kemotherapy. Terkdang jika malam menjelang, Zaim selalu ingin tidur di samping kakaknya. Begitu juga ketika Zaim demam dan harus dirawat di ruang Isolasi untuk beberapa hari, Zaim selalu merindukan kakak-kakaknya. Namanya juga anak-anak. Pasti sesekali bertengkar. Namun selalu tidak pernah lama. Yang lama adalah biasanya durasi bermain mereka.

Bagi Zaim, penderitaan selama menjalani kemotherapy tidak akan berkurang. Zaim harus menjalani protokol ketat untuk menyembuhkan kanker darahnya. Zaim juga harus menjalani pengobatan untuk waktu yang lama. Setelah itu Zaim seumur hidup juga harus rutin kontrol untuk memastikan bahwa sel kanker benar-benar terlelap dan tidak bangun lagi. Semua hal itu akan terasa berat jika ditanggung sendiri. Zaim akan merasa lebih ringan ketika ada kedua orang tua dan kakak-kakaknya. Memang biaya akan menjadi lebih besar ketika aku harus membawa Muthia dan Faiza ke Malaysia. Namun semua biaya itu menjadi ringan ketika melihat  senyum ceria Zaim atas kehadiran kakak-kakaknya. Ditambah lagi, kami juga percaya bahwa penyatuan keluarga akan lebih bagus bagi perkembangan psikologi mereka semua. 

Apakah tidak ada yang terkorbankan? Tentu saja ada. Pulang pergi Indonesia Malaysia membuat jadwal sekolah Muthia agak berantakan. Muthia harus menjalani jadwal sekolah seperti biasa. Selama di Malaysia, Muthia dan Faiza homeshooling di rumah—kenyataannya konsep ini perlu konsistensi tinggi. Lalu ketika pulang ke Indonesia, maka mereka akan sekolah untuk jangka waktu satu hingga dua pekan. Alhamdulillah sekolah akhirnya memahami hal ini. Pengorbanan mereka, besar manfaatnya bagi adiknya.
Pada akhirnya, keputusan untuk menyatukan sebuah keluarga memang bukan sebuah keputusan tanpa resiko. Selalu ada positif dan negatifnya. Tapi aku sepenuhnya sadar. Bahwa tidak ada yang lebih mahal dalam sebuah keluarga kecuali ketika mereka berkumpul. Panas, dingin, hujan badai dan sesekali petir yang menggelar menjadi symponi yang membuat kita saling mendekat satu sama lain. Pada akhirnya gerimis tidak akan pernah abadi. Akan ada terang setelah gelap. Dan semburat matahari pagi akan terasa nikmat dinikmati bersama.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar