“Aim mau pulang Aceh. Aim dah sembuh ni”
Tanggal 15 Mei lalu, aku,
Muthia dan Faiza pulang ke Aceh. Kami tiba di Kuala Lumpur pada tanggal 17
April 2013 untuk melanjutkan rawatan kanker Zaim. Karena menggunakan visa social, maka kami
hanya dapat ditinggal untuk jangka waktu 30 hari. Zaim saat itu menangis ketika
melihat orang-orang di dekat mereka pergi. Zaim juga mau ikut pulang ke Aceh
seperti bulan sebelumnya tatkala ada rehat antara satu fase dengan fase
lain. Seandainya tidak berfikir mengenai
kelanjutan sekolah Muthia dan Faiza, juga tanggung jawabku di kantor, mungkin
aku akan memilih bertahan di Malaysia. Mencari nafkah apapun asalkan halal.
Bagiku, tidak ada hal yang lebih penting dalam sebuah keluarga kecuali
bersamaan.
Di Malaysia kami hanya
satu ruangan untuk dipakai bersama-sama. Ruang tidur di situ, ruang bermain di
situ, ruang makan pun disitu. Tapi dari situlah mungkin Allah menerangkan
ketenangan atau sakinah kepada kami.
Mendapatkan ketenangan merupakan impian setiap pasangan yang telah menikah.
Tidak ada cita-cita yang lebih tinggi dalam romansa pernikahan kecuali
memperoleh sakinah, mawaddah dan rahmah. Setelah delapan tahun menikah, aku
baru sadar. Bahwa terkadang sakinah atau ketenangan itu hadir sebuah rumah tangga
dipenuhi oleh harta. Bukan. Bukan itu. Terkadang ketenangan diperoleh justru
kita memperoleh ujian. Di saat Allah memberikan ujian dan mengambil sebagian
kenikmatan, saat itulah Allah mengantikan kita dengan ketenangan. Allah selalu menepati janjinya. Ketika Allah
mengambil sebagian kecil dari nikmat yang dititipkan pada kita, saat itu juga
Allah mengantikan dengan nikmat yang lain. Allah telah menitipkan sepeda motor,
mobil dan beberapa uang kepadaku. Lalu semua itu diambil oleh Allah melalui
sakit kanker darah yang Allah berikan pada Zaim. Aku selalu percaya. Bahwa
suatu saat nanti, setelah Zaim sembuh, Allah pasti akan menitipkan yang lebih baik.
Selama di Malaysia,
kakak-kakanya selalu mendampingi Zaim menjalani kemotherapy. Muthia sesekali
akan ikut ke daycare. Sebelum jarum suntik menyentuh kulit Zaim, Muthia akan
cerita terlebih dahulu kepada adiknya. Juga Faiza. Faiza memang tidak pandai
bercerita seperti kakaknya. Tetapi Faiza selalu setia untuk mendampingi Zaim
bermain puzzle atau mainan bongkar pasang.
Kehadiran Muthia dan Faiza sedikit banyak mengurangi penderitaan Zaim
selama menjalani kemotherapy. Terkdang jika malam menjelang, Zaim selalu ingin
tidur di samping kakaknya. Begitu juga ketika Zaim demam dan harus dirawat di
ruang Isolasi untuk beberapa hari, Zaim selalu merindukan kakak-kakaknya.
Namanya juga anak-anak. Pasti sesekali bertengkar. Namun selalu tidak pernah
lama. Yang lama adalah biasanya durasi bermain mereka.
Bagi Zaim, penderitaan
selama menjalani kemotherapy tidak akan berkurang. Zaim harus menjalani
protokol ketat untuk menyembuhkan kanker darahnya. Zaim juga harus menjalani
pengobatan untuk waktu yang lama. Setelah itu Zaim seumur hidup juga harus
rutin kontrol untuk memastikan bahwa sel kanker benar-benar terlelap dan tidak
bangun lagi. Semua hal itu akan terasa berat jika ditanggung sendiri. Zaim akan
merasa lebih ringan ketika ada kedua orang tua dan kakak-kakaknya. Memang biaya
akan menjadi lebih besar ketika aku harus membawa Muthia dan Faiza ke Malaysia.
Namun semua biaya itu menjadi ringan ketika melihat senyum ceria Zaim atas kehadiran
kakak-kakaknya. Ditambah lagi, kami juga percaya bahwa penyatuan keluarga akan
lebih bagus bagi perkembangan psikologi mereka semua.
Apakah tidak ada yang
terkorbankan? Tentu saja ada. Pulang pergi Indonesia Malaysia membuat jadwal
sekolah Muthia agak berantakan. Muthia harus menjalani jadwal sekolah seperti
biasa. Selama di Malaysia, Muthia dan Faiza homeshooling di rumah—kenyataannya
konsep ini perlu konsistensi tinggi. Lalu ketika pulang ke Indonesia, maka
mereka akan sekolah untuk jangka waktu satu hingga dua pekan. Alhamdulillah
sekolah akhirnya memahami hal ini. Pengorbanan mereka, besar manfaatnya bagi
adiknya.
Pada akhirnya, keputusan
untuk menyatukan sebuah keluarga memang bukan sebuah keputusan tanpa resiko.
Selalu ada positif dan negatifnya. Tapi aku sepenuhnya sadar. Bahwa tidak ada
yang lebih mahal dalam sebuah keluarga kecuali ketika mereka berkumpul. Panas,
dingin, hujan badai dan sesekali petir yang menggelar menjadi symponi yang
membuat kita saling mendekat satu sama lain. Pada akhirnya gerimis tidak akan
pernah abadi. Akan ada terang setelah gelap. Dan semburat matahari pagi akan
terasa nikmat dinikmati bersama.