Jumat, 19 April 2013

Bukan Cerita Semalam di Malaysia




“Aku pulang dari rantau
Merantau ke negeri seberang
Oh, Malaysia..”



Baiklah, aku lanjutkan ceritaku. Ini masih cerita biasa, tentang usaha orang tua biasa seperti saya dan istri tercinta,  mendapatkan ujian yang luar biasa bernama leukemia. Saya menyebut penyakit leukemia sebagai sakit yang luar biasa karena jenis penyakit ini tidak biasa. Diantara  seribu anak, mungkin hanya 2-3 atau tiga anak yang mengidap penyakit leukemia. Selebihnya kebanyakan anak-anak diberikan ujian oleh Allah dengan sakit biasa seperti demam, flu, cacar, campak atau jenis penyakit temporer lainnya.
Entah mengapa terkadang aku teringat pada petikan lagu tulisan ini. Aku malah tidak tahu siapa yang menyanyikan. Yang aku ingat lagu sering berseliwearan dalam memori alam bawah sadarku. Inilah keunggulan sebuah kata-kata yang didendangkan dengan sepenuh hati. Ia akan melekat pada sanubari. Aku juga berdo’a tulisan-tulisan yang kupahat dalam blog ini, bercerita tentang pahit dan manisnya menganani leukemia, semoga membekas pada sanubari sidang pembaca. Tentu saja sebuah bekas, sebuah jejak yang menuntun jiwa-jiwa yang tak mudah menyerah. Jiwa-jiwa yang tak kenal lelah untuk mengobati orang-orang tercinta di sekeliling kita.
Perjalananku ke Banda dimulai ketika aku dan istriku keluar dari Rumah Sakit Zainal Abidin di Aceh. Aku ingat, pada tanggal 21 Oktober 2012 pukul 21.00, setelah dinyatakan hemogloblin yang dirasa cukup dengan tranfsusi daraha beberapa kali, kami segera berkemas untuk pulang. Sebelum pulang, aku dan istri menyempatkan diri ke Pasar Aceh membeli beberapa baju untuk Zaim. Sekedar persiapan di Malaysia sebelum berangkat. Pukul 22:30 kami sudah tiba di rumah. Malam itu kami berencana menyiapkan barang-barang yang perlu dipersiapkan. Di rumah, kakaknya Zaim, Muthia dan Faiza sudah tertidur pulas. Hanya ada nenek buyutnya yang masih terjaga.    Karena kelelahan, kami segera tertidur. Namun tidak benar-benar tertidur. Bagaimana bisa tidur nnyeyak ketika setiap detik aku merasa maut sudah begitu dekat dengan Zaim? Momentum itu aku rasakan bukan saat-saat itu saja, tapi juga memontum-momentum setelahnya.
********
Hari Rabu pagi, kami siap-siap berangkat. Di rumah ada sister Latifa, dia yang akan mengantarkan kami dengan mobil bututku. Tapi karena ada beberapa tamu yang datang, proses menyiapkan barang-barang berjalan lambat. Aku dan istri malah sempat tidak makan. Begitu juga dengan Zaim. Akibatnya kami kelaparan di pesawat Air Asia. Kami enggan beli makanan yang ditawarkan di pesawat karena barngnya dijual dalam Ringgit Malaysia. Masak mie instan kecil dijual 5 Ringgit. Kalau dikonversi setara dengan 15 ribu. Nasi gurih Aceh yang super lezat saja hanya 12 ribu. Inilah udiknya orang kampung sepertiku. Di pesawat Zaim merasa nyaman dan senang dengan pengalaman baru. Tapi itu hanya berlangsung sesaat karena setelah dirinya tersiksa dengan bunyi mesin pesawat tang terus mendengung.  Begitu juga ketika tiba di bandara Low Cost Carier Terminal (LCCT), Zaim semakin tidak nyaman. Apalagi suasana di LCCT tidak ubahnya seperti kawasan pabrik. Keluar dari pesawat, kami harus berjalan melalui tangga dan selasar yang panas tanpa mesin pendingin tentunya. Sangat berbeda dengan kondisi bandara Sultan Iskandar Muda di Aceh atau bandara Soekaro Hatta di Jakarta. Belakangan aku tahu bahwa LCCT diperuntukkan hanya untuk penumpang dengan pesawat Air Asia dengan harga terjangkau alias murah meriah. Maka aku menyebut LCCT tidak ubahanya seperti bandara untuk kaum miskin kota. 
Setelah beradaptasi dengan kondisi barang yangt tidak nyaman, selanjutnya kami harus menghadapi pemeriksaan dari pihak Imigrasi bandara Malaysia tidak kalah dalam membuat kami tidak nyaman . Kami ditanyai macam-macam. Mungkin muka-muka sepertiku mirip dengan Tenaga Kerja Indonesia yang ketangkap pihak Imigrasi sebelum ditendang alias dideportasi kembali ke Indonesia. Istriku malah langsung down begitu melihat sikap kurang ramah pihak Imigrasi. Dirinya baru tenang bahwa bagaimanapun juga kita ini mau berobat di negeri orang. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka ya harus mengikuti prosedur tuan rumah.
Ketegangan dan rasa nyaman itu berubah menjadi lega ketika di lobby bandara kami di sambut oleh kolega kami, Encik Lukman. Dengan mobil Grand Livinanya, kami membelahan jalanan menuju hospital. Kami ditraktir makan di salah satu rumah makan dekat Bangi. Sayangnya suhu badan Zaim bertambah panas. Dan itu membuat perut kami keroncongan tiba-tiba menjadi kenyang. Perjalanan dilanjutkan menuju Cheras Kuala Lumpur, daerah dimana rumah sakit yang kami tuju berada. Semuanya sebenarnya terasa asing bagiku. Namun itu belum apa-apa dibanding ceritaku di rumah sakit nantinya.
Tiba di Cheras, kami menuju International Youtch Centre—penginapan sederhana yang lokasinya di depan HUKM. Encik Lukman sendiri kebetulan harus balik ke Perak—dia Cik Gu di salah satu sekolah di negeri tersebut. Di IYC, kami disambut oleh ustadz Nazeli. Menurutku salah satu takdir terbaik selama menjalani pengobatan Zaim adalah ketika aku dipertemukan dengan lelaki berhati malaikat tersebut. Selama di Malaysia, ustadz Nazeli dan keluarganya dengan all out membantu kami. Dari mulai membantu pendaftaran, selama di rawat intensif di hospital, ataupun selama rawatan jalan semasa kami tinggal di rumah komplek hospital. Aku tidak tahu berapa ringgit yang telah dikeluarkan oleh ustadz Nazeli untuk mengobati Zaim. Hanya Allah saja yang dapat membalas semua jasa baiknya.
Sore itu, sebelum masuk ke hospital sebenarnya ustadz Nazeli mengajak kami untuk makan malam. Namun begitu melihat Zaim muntah-muntah dan demam, kecemasan makin menjalariku. Akhirnya aku meminta ustadz Nazeli untuk mengantarkan kami ke Ruang Kecemasan (UGD).  Zaim harus diperiksa beberapa kali. Proses di Unit Kecemasan terasa panjang dan melelahkan. Kami sudah lapar dan mengantuk. Ustadz Nazeli akhirnya menawarkan kami makanan yang perlu dipesan. Beberapa saat kemudian ustadz Nazeli datang istri dan anaknya—membawa beberapa mainan untuk Zaim.
Setelah melalui proses pemeriksaan di Unit Kecemasan, salah seorang dokter yang sepertinya dianggap paling senior dan paling mengerti penyakit anak berkata, “Anak you, akan mati kalau tidak dirawat malam ini, tahu?” Aku sudah kelalahan dan kelaparan. Tapi kalimat itu terasa air es yang menguyur badanku. Cerita baru dimulai.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar