“Aku pulang dari rantau
Merantau ke negeri seberang
Oh, Malaysia..”
Baiklah, aku lanjutkan
ceritaku. Ini masih cerita biasa, tentang usaha orang tua biasa seperti saya
dan istri tercinta, mendapatkan ujian
yang luar biasa bernama leukemia. Saya menyebut penyakit leukemia sebagai sakit
yang luar biasa karena jenis penyakit ini tidak biasa. Diantara seribu anak, mungkin hanya 2-3 atau tiga anak
yang mengidap penyakit leukemia. Selebihnya kebanyakan anak-anak diberikan ujian
oleh Allah dengan sakit biasa seperti demam, flu, cacar, campak atau jenis
penyakit temporer lainnya.
Entah mengapa terkadang aku
teringat pada petikan lagu tulisan ini. Aku malah tidak tahu siapa yang
menyanyikan. Yang aku ingat lagu sering berseliwearan dalam memori alam bawah
sadarku. Inilah keunggulan sebuah kata-kata yang didendangkan dengan sepenuh
hati. Ia akan melekat pada sanubari. Aku juga berdo’a tulisan-tulisan yang
kupahat dalam blog ini, bercerita tentang pahit dan manisnya menganani leukemia,
semoga membekas pada sanubari sidang pembaca. Tentu saja sebuah bekas, sebuah
jejak yang menuntun jiwa-jiwa yang tak mudah menyerah. Jiwa-jiwa yang tak kenal
lelah untuk mengobati orang-orang tercinta di sekeliling kita.
Perjalananku ke Banda dimulai
ketika aku dan istriku keluar dari Rumah Sakit Zainal Abidin di Aceh. Aku
ingat, pada tanggal 21 Oktober 2012 pukul 21.00, setelah dinyatakan hemogloblin
yang dirasa cukup dengan tranfsusi daraha beberapa kali, kami segera berkemas
untuk pulang. Sebelum pulang, aku dan istri menyempatkan diri ke Pasar Aceh
membeli beberapa baju untuk Zaim. Sekedar persiapan di Malaysia sebelum
berangkat. Pukul 22:30 kami sudah tiba di rumah. Malam itu kami berencana
menyiapkan barang-barang yang perlu dipersiapkan. Di rumah, kakaknya Zaim,
Muthia dan Faiza sudah tertidur pulas. Hanya ada nenek buyutnya yang masih
terjaga. Karena kelelahan, kami segera tertidur. Namun
tidak benar-benar tertidur. Bagaimana bisa tidur nnyeyak ketika setiap detik
aku merasa maut sudah begitu dekat dengan Zaim? Momentum itu aku rasakan bukan
saat-saat itu saja, tapi juga memontum-momentum setelahnya.
********
Hari Rabu pagi, kami
siap-siap berangkat. Di rumah ada sister Latifa, dia yang akan mengantarkan
kami dengan mobil bututku. Tapi karena ada beberapa tamu yang datang, proses
menyiapkan barang-barang berjalan lambat. Aku dan istri malah sempat tidak
makan. Begitu juga dengan Zaim. Akibatnya kami kelaparan di pesawat Air Asia. Kami
enggan beli makanan yang ditawarkan di pesawat karena barngnya dijual dalam
Ringgit Malaysia. Masak mie instan kecil dijual 5 Ringgit. Kalau dikonversi
setara dengan 15 ribu. Nasi gurih Aceh yang super lezat saja hanya 12 ribu.
Inilah udiknya orang kampung sepertiku. Di pesawat Zaim merasa nyaman dan
senang dengan pengalaman baru. Tapi itu hanya berlangsung sesaat karena setelah
dirinya tersiksa dengan bunyi mesin pesawat tang terus mendengung. Begitu juga ketika tiba di bandara Low Cost Carier Terminal (LCCT), Zaim
semakin tidak nyaman. Apalagi suasana di LCCT tidak ubahnya seperti kawasan
pabrik. Keluar dari pesawat, kami harus berjalan melalui tangga dan selasar
yang panas tanpa mesin pendingin tentunya. Sangat berbeda dengan kondisi
bandara Sultan Iskandar Muda di Aceh atau bandara Soekaro Hatta di Jakarta.
Belakangan aku tahu bahwa LCCT diperuntukkan hanya untuk penumpang dengan
pesawat Air Asia dengan harga terjangkau alias murah meriah. Maka aku menyebut
LCCT tidak ubahanya seperti bandara untuk kaum miskin kota.
Setelah beradaptasi dengan
kondisi barang yangt tidak nyaman, selanjutnya kami harus menghadapi pemeriksaan
dari pihak Imigrasi bandara Malaysia tidak kalah dalam membuat kami tidak
nyaman . Kami ditanyai macam-macam. Mungkin muka-muka sepertiku mirip dengan
Tenaga Kerja Indonesia yang ketangkap pihak Imigrasi sebelum ditendang alias
dideportasi kembali ke Indonesia. Istriku malah langsung down begitu melihat sikap kurang ramah pihak Imigrasi. Dirinya baru
tenang bahwa bagaimanapun juga kita ini mau berobat di negeri orang. Jadi mau
tidak mau, suka tidak suka ya harus mengikuti prosedur tuan rumah.
Ketegangan dan rasa nyaman
itu berubah menjadi lega ketika di lobby bandara kami di sambut oleh kolega
kami, Encik Lukman. Dengan mobil Grand Livinanya, kami membelahan jalanan
menuju hospital. Kami ditraktir makan di salah satu rumah makan dekat Bangi.
Sayangnya suhu badan Zaim bertambah panas. Dan itu membuat perut kami
keroncongan tiba-tiba menjadi kenyang. Perjalanan dilanjutkan menuju Cheras
Kuala Lumpur, daerah dimana rumah sakit yang kami tuju berada. Semuanya
sebenarnya terasa asing bagiku. Namun itu belum apa-apa dibanding ceritaku di
rumah sakit nantinya.
Tiba di Cheras, kami menuju
International Youtch Centre—penginapan sederhana yang lokasinya di depan HUKM.
Encik Lukman sendiri kebetulan harus balik ke Perak—dia Cik Gu di salah satu
sekolah di negeri tersebut. Di IYC, kami disambut oleh ustadz Nazeli. Menurutku
salah satu takdir terbaik selama menjalani pengobatan Zaim adalah ketika aku
dipertemukan dengan lelaki berhati malaikat tersebut. Selama di Malaysia,
ustadz Nazeli dan keluarganya dengan all
out membantu kami. Dari mulai membantu pendaftaran, selama di rawat
intensif di hospital, ataupun selama rawatan jalan semasa kami tinggal di rumah
komplek hospital. Aku tidak tahu berapa ringgit yang telah dikeluarkan oleh
ustadz Nazeli untuk mengobati Zaim. Hanya Allah saja yang dapat membalas semua
jasa baiknya.
Sore itu, sebelum masuk ke
hospital sebenarnya ustadz Nazeli mengajak kami untuk makan malam. Namun begitu
melihat Zaim muntah-muntah dan demam, kecemasan makin menjalariku. Akhirnya aku
meminta ustadz Nazeli untuk mengantarkan kami ke Ruang Kecemasan (UGD). Zaim harus diperiksa beberapa kali. Proses di
Unit Kecemasan terasa panjang dan melelahkan. Kami sudah lapar dan mengantuk.
Ustadz Nazeli akhirnya menawarkan kami makanan yang perlu dipesan. Beberapa
saat kemudian ustadz Nazeli datang istri dan anaknya—membawa beberapa mainan
untuk Zaim.
Setelah melalui proses
pemeriksaan di Unit Kecemasan, salah seorang dokter yang sepertinya dianggap
paling senior dan paling mengerti penyakit anak berkata, “Anak you, akan mati kalau tidak dirawat malam ini, tahu?” Aku
sudah kelalahan dan kelaparan. Tapi kalimat itu terasa air es yang menguyur
badanku. Cerita baru dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar