Minggu, 11 Desember 2016

Kenapa Anak Saya Sembuh dari Leukemia?




5 Oktober 2016  lalu, tepat 4 tahun Zaim anak saya melawan Leukemia. Alhamdulillah, atas izin Allah, ananda Zaim masih dipanjangan umurnya Saat ini, Zaim telah berusia 6 Tahun lebih. Dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 2010, Zaim didiagnosa mengidap penyakit Leukemia pada umur 2 tahun. Sejak itu, Zaim menjalani setahun kemotherapy di PPUKM, Cheras Malaysia

Atas Izin Allah, Zaim telah melewati fase intensif perawatan kemotherpy Dua tahun setelahnya Zaim menjalani rawatan maintenance Selain dengan Kemotherapy, kami juga berikhtiar dengan Immunotherapy Transfer Factor

Kenapa kami menyebutnya ikhtiar? Karena semua kesembuhan datangnya dari Allah Kemotherapy bagian ikhtiar kesembuhan. Juga Immunotherapy.

Lalu kenapa kami memilih produk Transfer Factor dari 4Life Resech? Banyak alasan tentunya. Tetapi saya ingin menyimpulkan bahwa Transfer Factor tidak ada efek samping, aman untuk anak anak, zero toxcid dan Halal.

Bagi Bapak Ibu semua yang ingin mengetahui penanganan Kanker pada anak,  konsultasi atau  sekedar berbagi cerita, kami siap mendengarkan Semoga hadirnya kami di dunia ini memberikan manfaat untuk yang lain, terutama mengenai penangangan kanker pada Anak
Terima kasih


Salam hormat saya,


Wayir Nuri (Ayahanda dari Zaim Abdirrahman Nuri)

 Note :
Beberapa Kali saya dikirim pesan atau dihubungi oleh pembaca blog ini. Tetapi karena tidak menuliskan nomor handphone, akhirnya banyak pesan yang telat masuk ke Handphone saya.
Untuk itu saya mohon maaf. Awalnya blog ini tidak dibuat sebagai promosi. Melainkan sebagai blog pribadi sebagai wahana curhat dan berbagi pengalaman.

Namun dalan perjalanannya karena banyak kesulitan menghubungi saya, maka saya share nomor handphone dan alamat saya agar bermanfaat. Terima kasih

Handphone :  +62 0813 604 234 78
Whastup : 0813 604 234 78
FB : Wayir Nuri

Alamat :
Komplek Damai Lestari Blok F Nomor 25 Lamreng Darul Imarah Aceh Besar
INDONESIA







Selasa, 21 Januari 2014

Kebaikan Itu Seperti Buumerang




                Ini cerita sederhana tentang kebaikan yang menjelma layaknya boomerang. Ini cerita tentang hal sederhana yang membuka hati manusia. Bahwa pada akhirnya kebaikan kecil yang kita lakukan, belum tentu kecil bagi orang lain. Kebaikan sekecil apapun, karena niatan tulus dari sanubari kita, dapat bermanifestasi menjadi kebaikan yang begitu berarti, memoarable, dan abadi dalam jalinan ingatan orang lain. Seperti karang yang tegak di pinggir pantai, akan berdiri kokoh sekalipun dihantam ombak.
                Ini  cerita tentang pengalaman hidup saya.  Cerita saya dimulai dengan memperkenalkan tokoh bernama Fitriani—bisa nama sebenarnya bisa juga tokoh rekaan. Biasa dipanggil dengan sebutan Pipit. Nama panggilan yang singkat memang. Tetapi tidak sesingkat itu kenangan saya kepada Pipit. Saya mengenal dengan Pipit ketika menjadi pengasuh pondok yatim di Istanbul Dormitory. Pondok yatim ini didirikan untuk menampung anak-anak korban tsunami hasil kerja sama yang apik antara NGO IHH Turky dengan PKPU Aceh. Pipit sendiri adalah survivor tsunami. Ayah dan bundanya hilang bersama gelombang dahyat yang melanda Aceh medio Desember 2004. Semenjak gelombang itu, Pipit memiliki status baru. Yatim piatu. Maka sejak saya menjadi pimpian pondok yatim, saya memperoleh panggilan baru dari Pipit dan kawan-kawannya. Abi.

                Cerita saya—dan istri tentu saja—kepada Pipit boleh dibilang biasa. Tiada yang istimewa. Sebagai pengasuh pondok yang membawahi sekitar seratus anak yatim, saya harus adil membagi kasih sayang kepada anak-anak tersebut. Nama Pipit boleh dibilang bagian dari data statistik anak-anak yatim korban tsunami yang tinggal di pondok. Lalu peristiwa tidak biasa terjadi. Suatu hari istri mendapatkan tugas da’wah dari lembaganya untuk berangkat ke Takengon, Aceh Tengah. Sebagai suami yang baik hati, saya pun mengantarkan dan mendampingi istri. Kami menyewa mobil rental.  Karena mobil lebih dari cukup untuk menampung saya istri beserta kedua putrid Muthia dan Faiza, akhirnya kami pun mengajak beberapa anak yatim di pondok. Pipit salah satunya.
                Tidak ada kebetulan di dunia ini. Semuanya telah tertulis dengan rapi dalam catatan Nya. Hari ketika kami mengajak Pipit jalan-jalan ke Takengon rupanya hari ulang tahunnya. Sebuah kado ulang tahun yang tidak pernah dia cicipi semenjak ayah dan bundanya berpulang ke kampong syurga. Selepas pulang dari Takengon, aku tidak bahwa dalam bilik-bilik pondok yatim Pipit bercerita kepada kawan-kawannya. Bahwa hari itu dia memperoleh kado terindah dari Abi dan Ummi jalan-jalan ke Danau Laut Tawar Takengon. Ketika Pipit dengan semangatnya bercerita kepada kawan-kawannya itu, bisa jadi aku telah tertidur kelelahan dari perjalanan.
                Peristiwa itu terjadi pada tahun 2009. Awal tahun 2010 saya mengundurkan sebagai pimpinan pondok untuk memberikan kesempatan pada orang lain mendapatkan pahala. Komunikasi dengan Pipit dan kawan-kawan tetap terjalin sekalipun tidak seintens ketika kami masih tinggal di Istanbul Dormitory.
                Selang beberapa tahun kemudian, Allah memberikan salah satu kado terindahnya dengan memberikanku seorang anak lelaki. Bayi mungil berwarna merah jambu itu aku beri nama Zaim yang berarti pemipin. Besar harapan bahwa Zaim kelak menjadi pempimpin seperti Hasan al Banna, Al Maududi atau Natsir. Hanya saja seperti kisah pemimpin-pemimpin besar yang kusebut nama mereka, Zaim pun melewati jalan yang tidak mudah. Pada umur 2 tahun, Zaim divonis mengidap Kanker Darah atau yang disebut Leukemia.
                Perjalanan ikhtiar kami menyembuhkan Zaim ke Malaysia membuka jalinan takdir yang lain. Aku dan istriku berjumpa lagi dengan gadis kecil yang dulu kami asuh di pondok yatim, Pipit. Saat kami merawat Zaim di Malaysia, Pipit bukan lagi anak SMA yang suka mengenakan tas dengan gambar boneka lucu yang menjulurkan lidahnya. Pipit kecil itu telah menjadi Pipit besar dengan status baru mahasiswi dari Universitas bergengsi di Negeri Petronas Tower, University International Antar Bangsa Malaysia (UIAM). 
  
                Pipit dan kawan-kawannya beberapa kali mengunjungi Zaim yang tengah dirawat di hospital  PPUKM.Yang aku ingat Pipit membawakan baju koko dan boneka ikan yang sangat besar. Hadiah sederhana itu membuat Zaim tersenyum bahagia, membuat kami menangis haru. Rupanya cerita tidak sesederhana itu saja. Di bilik asrama UIAM, mahasiswi ini mulai rajin bercerita tentang kenangan lama. Bahwa dia dulu pernah diberikan kado indah jalan-jalan ke Takengon oleh kami. Saat ini orang yang telah memberikan kado indah itu sedang membutuhkan bantuan karena anaknya mengidap kanker.. Dengan giat dan rajin Pipit selalu mengulangi cerita yang sama kepada kawan-kawannya. Jalinan cerita itu berlanjut melalui sebuah gerakan bernama Coin for Zaim. Dalam gerakan Coin for Zaim berhimpun mahasiswa-mahasiswa Aceh yang tengah menuntut ilmu di Malaysia seperti Pipit, Rohana, Bobby Kamaruzzaman, Moamar Khadafi dan nama-nama lain yang tidak dapat aku ingat satu persatu.  Anak-anak muda berhati malaikat ini dengan aktif menggalang dana kemanusian untuk disumbangkan pada Zaim. Saya melihat mereka bersungguh-sungguh dalam menjaring pahala dari Allah melalui Coin for Zaim. Hal ini ditandai dengan hasil maksimal dana pengobatan Zaim melalui kegiatan amal tersebut hingga mencapai RM 10.000 atau setara dengan gaji saya setahun di Indonesia. Subhanallah. 

                Menjelang kepulangan Zaim ke Indonesia, seiring dengan selesainya rawatan intensif di Malaysia, saya meminta merubah nama  dari Coin for Zaim menjadi Coin for Humanity. Kelak dengan pergantian nama tersebut semoga banyak Zaim-Zaim lain yang dapat dibantu. Saya bangga dan terharu dengan keberadaan anak-anak muda inspiratif tersebut, termasuk Pipit di dalamnya. Semoga Allah memudahkan urusan mereka dan mengganti kebaikan tersebut dengan pahala yang banyak.   
Pada titik ini saya sadar bahwa kebaikan itu seperti boomerang—nama senjata dalam suku Indian. Hari ini kita melemparkan boomerang kebaikan kepada orang lain, suatu hari nanti boomerang kebaikan itu akan kembali kepada kita.  “Jika kalian berbuat Baik (berarti) kalian berbuat Baik untuk dirimu sendiri,Dan jika kalian berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri”.. (QS. Al Isra : 7).
Wallahu’alam bis shawab.

Rabu, 18 Desember 2013

Karena Sesungguhnya Ujian Itu Indah




“Jalan hidup kita, adalah skenario terbaik yang Allah berikan kepada kita. Jalanilah peranmu sebaik mungkin.”—Mohammad al Azhir
Pernahkah Tuan memperoleh ujian yang begitu dahsyat? Dada terasa begitu sesak, pikiran kalut tidak tentu arah. Berdiri kaki-kaki bergoyang, duduk tidak merasa nyaman dan tidur pun tidak tenang. Kondisi bertambah parah, saat kita harus segera memutuskan pengobatan terbaik untuk orang yang kita cintai. Apakah berobat di dalam negeri ataupun ikhtiar ke luar negeri, semuanya memerlukan biaya yang sangat mahal. Padahal saat itu jangankan asuransi kesehatan atau cadangan uang darurat, uang belanja harian pun kami harus atur sedemikian rupa. Maka tidak pilihan kecuali menjual apa yang ada demi nyawa orang yang kita cintai.
Maka dalam bayangkanlah ketika dalam tempo yang tidak lama, Tuan harus menjual harta yang sudah dikumpulkan bertahun-tahun. Harta-harta itu begitu lama kita kumpulkan, satu demi satu, sedikit demi sedikit. Lalu pada suatu waktu, Tuan harus melepaskan semua harta itu. Melepaskan benda demi benda yang pernah membekas dalam hati itu.  Semua itu ditukar atau dijual demi diganti dengan beberapa lembar uang untuk mempertahankan nyawa orang yang kita cintai. Tuan, saya pernah mengalami semua itu.
Ujian itu terjadi ketika anak yang ketiga, Zaim Abdirahman Nuri, didiagnosa mengidap penyakit Kanker Darah. Jamak  disebut Leukemia. Umur Zaim baru berumur dua tahun ketika aku dan istri diberitahu oleh dokter tentang jenis penyakit putra kami. Usia yang hampir sama dengan Mike Scott Si Batman Kecil dari San Francisco yang saat ini tengah ramai diberitakan oleh media massa.
Kanker, apapun jenisnya merupakan monster dari segala jenis penyakit. Saya yakin orang tua yang tengah tertidur lelap setelah seharian membanting tulang, saat itu juga akan bangun dari tidur begitu mengetahui anaknya mengidap penyakit Kanker. Bagiku kabar mengenai penyakit Kanker yang mendera putraku telah mengubah mimpi-mimpi yang indah menjadi mimpi buruk. Tidak ada lagi mimpi indah tentang danau sepi dimana angsa-angsa berenang dengan tenang. Tidak ada lagi mimpi tentang kolam yang yang dipenuhi dengan permen coklat atau manisan seperti dalam imajinasi kakak-kakaknya Zaim. Saat itu rasanya langit-langit runtuh, bumi terbelah. Sujud-sujud kami adalah rintihan do’a pengharapan berhiaskan butiran-butiran tasbih air mata.
Seiring air mata kami yang mulai mengering, lahirlah kesadaran dalam sanubari kami. Kesadaran akan ajaran langit yang tidak pernah menginginkan hamba Nya hanya duduk meratapi kesedihan. Allah Sang Sutradara kehidupan menginginkan kami terus melakoni skenario  kehidupan yang telah dibuat Nya. Allah sangat tahu, ujian ini tidak hanya sesuai atau pantas dengan kemampuan hamba Nya. Tapi Allah juga meyakinkan bahwa kami, kita juga saya mampu melewati ujian kehidupan ini. Selama semburat sinar matahari masih terbit di pagi hari, selama burung-burung masih terbang dengan ceria dan selama bayi bayi lucu terus lahir dari perut ibundanya, maka selama itu juga Allah masih menginginkan kehidupan ini terus berjalan. Allah menginginkan kita  terus berusaha. Allah mencintai hamba Nya gigih dan pantang menyerah mendaki segala macam ujian dalam kehidupan kita ini. Sampai pada masa nantinya kita telah selesai mengarungi semua gunung-gunung ujian dalam kehidupan ini.  
Kesadaran itulah yang membuatku bangkit dan berusaha mencari obat bagi penyakit Kanker Darah yang mendera anakku. Sang Nabi pernah bersabda semua penyakit itu pasti ada obatnya. Tergantung sejauh mana kita berusaha untuk mencari obat tersebut. Untuk itulah kita senantiasa dianjurkan untuk berdo’a selain wajib berusaha. Do’a bagaimanapun juga saudara kembar dari usaha. Keduanya akan saling melengkapi sepanjang jalan tadir membersamai kita.
Ikhtiar itu membuatku memutuskan untuk berangkat ke Malaysia dengan tujuan memperoleh perawatan terbaik. Aku dan istriku menghargai keterusterangan dokter di Aceh yang menyatakan rumah sakit di daerah kami tidak cukup memiliki fasilitas dan sumber daya yang terbaik bagi penanganan Kanker Darah. Terutama untuk tahap awal rawatan yang memakan waktu satu tahun. Tahap intensif merupakan tahan penting dalam tahap kemotherapy. Dalam tahap ini juga seorang pasien sangat rentan tertular atau terjangkit infeksi penyakit dari orang lain dikarenakan efek kemoterapy. Maka beranjak dari nasehatnya, Malaysia menjadi tempat kami mencari takdir terbaik bagi anak saya. Terlintas berat juga beratnya menjalani karena harus menjalani pengobatan di negeri orang lain; jauh dari saudara, lingkungan yang asing juga biaya yang tidak tahu berapa akan habis. Saya juga membayangkan ketakutan jika tiba-tiba Allah memanggil putra kami saat di Malaysia. Namun saya menguatkan diri kalaupun Allah berkenan memanggil Zaim, maka saya sudah ridho karena itu benang takdir yang sudah digariskan Nya. Namun jika Zaim meninggal karena lemahnya semangat orang tuanya dalam ikhtiar mencari pengobatan terbaik, mungkin bisa jadi saat ini saya akan meratapi diri tentang betapa rapuhnya jiwa saya ini.
Bagi orang Aceh, ada perumpamaan yang menyatakan ke Malaysia kami melompati parit. Sementara untuk ke Jakarta kami perlu menyeberangi  sungai. Begitulah jarak geografis antara Aceh dengan Malaysia. Maka aku tidak heran ketika mendengar kabar uang 300 milyar rupiah milik orang Aceh mengalir ke Malaysia tiap tahunnya dari sektor kesehatan. Pengobatan instensif setahun Zaim di Malaysia memakan uang 80.000 hingga 100.000 ringgit Malaysia, setara dengan uang  240 hingga 300 juta rupiah. Saat itu sempat frustasi dengan angka perkiraan itu. Padahal sepeda motor, mobil hingga rumah yang saya miliki tidak cukup untuk menutupi besaran biaya pengobatan Zaim. Tawakal bukan jalan keputusaan melainkan jalan kepasrahan kepada Allah setelah kita berusaha habis-habisan. Aku ingat saat-saat berkesan waktu itu. Setelah meminjam uang kepada beberapa orang dan menjual mobil bekas, saya hanya berkata kepada Allah, “Ya Allah, hanya ini yang Kau titipkan padaku. Kupinta tambahkanlah kekurangannya.”
Saya menggunakan perantara update Facebook dan status Blackberry Messenger (BBM) untuk memberitahukan kondisi Zaim pada khalayak publik. Cara ini sesungguhnya semacam soft fundraising. Saya pada posisi membutuhkan bantuan tetapi tidak mengucapkannya. Perlu dipahami bahwa saya tidak pernah mengirimkan pesan atau mengupdate status dengan kalimat meminta uang. Cara ini sesungguhnya hanya akan merendahkan jiwa kita, bukan saja di di mata manusia tetapi di sisi Allah. Karena sesungguhnya hanya kepada Nya lah kita meminta pertolongan.
Maka untuk itu saya memilih cara mengupdate  kondisi Zaim selama menjalani kemotherapy. Misalnya saja saya mengunggah gambar Zaim yang tengah tertidur pulas selepas operasi Bone Marrow (pengambilan cairan sumsum tulang belakang). Saya juga mempublish gambar Zaim yang tengah merintih kesakitan saat nurse-nurse tengah membuat line bagi masuknya obat kemotherapy atau cairan infus. Saya percaya sebuah gambar yang baik tidak hanya mewakili ribuan baris puisi, tetapi juga menggugah hati manusia.
Setelah berusaha dan berdo’a, Allah lah yang kemudian memainkan perannya dengan menggerakkan hati manusia. Diantara manusia-manusia pilihan itu, ada diantara mereka yang membuat tabung peduli, menjual merchandise hingga mengetuk pintu demi pintu hati manusia dengan tujuan mengumpulkan dana pengobatan bagi Zaim. Entah berapa ribu orang yang telah membantu biaya pengobatan Zaim. Hanya Allah lah yang mampu membalas semua kebaikan itu. Adapun saya dan istri, selain berjuang habis-habisan mendampingi Zaim melawan kanker, juga mencari penghasilan tambahan dengan cara menjual kaos kaki, bros, baju, jilbab, sari kurma serta barang komoditi lainnya.
Oktober 2012 hingga Oktober 2013, bagi kami adalah tahun-tahun terberat dalam mendampingi putra tercinta melawan kanker. Rasanya badan kami lelah dan bathin. Selama itu kami mencatat peristiwa membuat dada kami sesak, kesabaran kami diuji dan kekhawatiran yang tidak pernah ada habisnya. Anak-anak yang sedang menjalani kemoterapy biasanya mengalami kondisi-kondisi terberat diakibatkan efek samping obat tersebut. Anak-anak tersebut mereka tidak nyaman dengan badannya, akibatnya sering marah-marah dan mengamuk tidak menentu. Mereka tidur yang tidak nyenyak dan bangun dengan kondisi badan yang tidak nyaman. Belum selama fase intensif Zaim harus bolak balik masuk ruang isolasi jika kondisi badannya. Setiap saat secara berkala harus tranfusi darah merah juga darah putih(platelet/trombosit), kaki yang sakit, hingga seperti lumpuh. Juga mulut kering dan pecah-pecah serta sariawan yang berat, rambut yang gugur sampai botak, lebam-lebam juga nyeri sendi, tidak bisa buang air besar hingga keluar darah juga muntah serta mencret yang mengharuskan mengganti seprey dalam 5 menit sekali.
Dalam hal uang, kami juga pernah mengalami indahnya bertawakal, setelah buntu rasanya usaha kami. Saat itu zaim tiba-tiba demam karena efek samping kemoterapy. Hingga harus masuk ruang isolasi selama 1 minggu. Dan saat itu kami sedang kosong, dalam arti tidak mencukupi untuk membayar rumah sakit yang bisa mencapai 800 ringgit lebih. Kami sangat yakin, Allah akan kirimkan sejumlah yang akan kami bayar nanti, dan subhanallah. Hari zaim akan keluar rumah sakit ada seorang kawan yang menyampaikan donasi sebesar 850 RM.
Tuan, tanpa bermaskud mendikte, ujian hidup ini ibarat kita dipaksa untuk mendaki gunung. Kita harus melewati lembah, menuruni jurang, menapaki sabana juga merangkaki bukit gemukit. Pelan namun pasti kita akan berjalan naik. Lalu pada suatu saatnya  nanti setelah kucuran keringat dan kelelahan yang sempurna, kita benar-benar akan berdiri di puncak gunung. Sungguh saat itu tidak ada perasaan yang mampu kita ungkapkan kecuali keterindahan itu sendiri. Kita merasakan kehidupan ini begitu indah. Saat itu mungkin jiwa dan raga kita lelah lahir dan bathin. Namun saat kita duduk atau telentang, sambil memandang langit dan bintang gemintang, kita akan berkata,”Ya Allah,  terima kasih telah membimbingku sejauh ini. Terima kasih telah memberikan kehidupan yang indah ini.”
Wallahu’alam bis shawab.


Kamis, 14 November 2013

Kaleidoskop Setahun Mendampingi Zaim Melawan Leukemia (Bagian 1)



            Bulan  Oktober 2013 kemarin, tepat setahun Zaim menghabiskan lebih banyak waktunya di hospital. Banyak cerita dan kisah tentunya. Sengaja saya tuliskan catatan setahun ini dengan  harapan mampu membantu orang tua, pesakit kanker, atau penderita penyakit kronis lainnya.  Catatan-catatan ini semoga mampu mendampingi mereka melewati tahun-tahun berat dengan tetap menjaga pohon harapan akan datangnya kesembuhan. Harapan, semangat  dan optimisme inilah yang membuat kita mampu bangkit dari keterpurukan, terjaga dari mimpi buruk dan berlari menyambut sinar matahari. Beginilah awal mulai cerita Zaim.

September 2012
            Sebelum diagnose kanker, tiga bulan sebelumnya Zaim lebih sering sakit dibanding sehat. Beberapa sakit yang diderita Zaim sebelumnya seperti Campak, Cacar, dan terkena Basil. Kondisi ini membuat Zaim sering demam.  Semua jenis sakit tadi ada yang terjadi karena faktor interal dari Zaim sendiri, tetapi ada juga faktor eksternal karena tertular dari anak-anak tetangga. Sakit yag terus menerus ini menyebabkan daya tahan tubuh Zaim menjadi lemah. Sebenarnya dalam tubuh manusia ada system pertahanan ketika terjadi serangan dari virus atau bakteri. Salah satu elemen penting dalam system pertahanan tubuh manusia adalah sel darah putih (leukosit). Namun ketika terjadi sakit terus menerus pada tubuh manusia, sel darah putih ini menjadi kelelahan. Dalam kondisi seperti ini, ketika terjadi


Zaim terkena sakit Campak.

Oktober 2012
            Ada gejala yang tidak biasa pada masa pertumbuhan Zaim. Tiba-tiba berat badannya turun, mukanya pucat dan ada pembengkakan pada pangkal paha atau dibawah dagunya. Badan Zaim sering lebam-lebam seperti habis terjatuh atau kena pukul benda keras. Ketika malam badan Zaim panas, namun ketika pagi demam itu hilang dengan sendirinya. Yang agak aneh perut Zaim selalu kembung seperti ketika masuk angin. Selain itu juga, badan Zaim selalu berkeringat sekalipun tidur dalam ruang berpendingin. Belakangan kami sadar bahwa itu semua adalah gejala Kanker Darah. Setelah posiif mengidap kanker darah, kami sempat membawa Zaim ke Rumah Sakit Zainal Abidin di Aceh untuk transfusi darah. Saat itu kondisi Zaim sangat drop

         Setelah diskusi dengan dokter dan mendapat masukan dari seorang kawan yang anaknya pernah mengidap Leukemia, kami akhirnya memutuskan membawa Zaim berobat ke Pusat Perubatan University Kebangsaan Malaysia (PPUKM), Cheras Kuala Lumpur. Prosedur awal, Zam harus melewati pemeriksaan di Ruang Kecemasan (Emergency). Saya ingat pemeriksaan malam itu cukup lama. Belum kondisi kami yang kelaparan. Setelah melalui proses cukup lama melibatkan team dokter, malam itu juga Zaim dimasukkan ke PHDU.

     Tanggal 29 Oktober 2012 Zaim menjalani operasi pengambilan cairan tulang belakang (Bone Marrow). Hasil Bone Marrow Zaim didiagnosa mengindap kanker darah Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) Regimen C. Saat itu sel kanker darah Zaim sejumlah 90 persen. Untuk mengobati penyakit tersebut, Zaim memerlukan pengobatan intensif selema 10 bulan hingga 1 tahun. Untuk fase permulaan rawatan, Zaim dirawat atau tinggal dalam Ward selama satu bulan. Dan selama itu, saya harus pulang ke Aceh untuk mengurus dua anak saya yang lain, Muthia dan Faiza.  

       Selama satu bulan di adalam Ward, Zaim harus mengkonsumsi Dexamethasone. Obat golongan steroid ini untuk merasangsang pertumbuhan badan. Namun disisi lain Dexa membuat Zaim seperti orang kelaparan yang senantiasa minta makan setiap satu jam sekali. Setelah satu bulan tinggal di dalam Ward, Zaim dan umminya akhirnya bisa tinggal di luar Ward. Pasien yang rumahnya tidak jauh dari hospital PPUKM, memilih tinggal di rumah mereka. Adapun kami, karena tidak punya rumah di Malaysia, memaksa kami untuk mencari tempat tinggal. Untungya di PPUKM disediakan Rumah Charity bernama Ronald Mac Donald House (RMH). Rumah Charity ini menerapkan biaya yang sangat murah (RM 5/hari) dikarenakan merupakan bentuk CSR dari restoran cepat saji, Mac Donald. Biaya itu tentu sangat murah dibanding jika saya harus menyewa hotel atau flat. Umumnya sewa flat di sekitar PPUKM memerlukan biaya sekitar RM 350-RM 750 sebulan. Itu belum biaya untuk membeli peralatan dapur dan keperluan lain.




Desember 2012
Setelah satu bulan di Aceh, akhirnya pada tanggal 24 Desember 2012 saya bersama Muthia dan Faiza mengunjungi Zaim di Malaysia.  Anak-anak saya tidak pernah berpisah dalam masa yang lama dengan ibunya. Jadi begitu bertemu ibunya setelah berpisah selama satu bulan, saya ingat anak sulung saya Muthia, malah tidak bisa berkata apa-apa. Perasaanya campur aduk. Antara ingin menangis, gembira, haru atau tertawa. Adapun Zaim, sebulan tidak bertemua dengan saya, berat badannya bertambah dengan cukup drastis. Saya bahkan seolah tidak percaya bahwa bocah gendut itu tidak lain adalah Zaim.

Keberadaan kakak-kakaknya, membuat Zaim sedikit melupkan penderitaan selama menjalani kemotherapy atau luka akibat operasi pemasaran Kemopot. Untuk beberapa saat Zaim dapat bermain dengan kakak-kakaknya. Rasanya senang melihat Zaim bermain dengan kakak-kakaknya. Bagaimanapun juga, menjalani kemotherapy dengan dan tanpa kehadiran saudara-saudaranya akan sangat berbeda. Apalagi di usia Zaim yang baru 2 tahun, keperluan untuk bermain merupakan keperluan yang tidak bisa dikesampingkan.



Sayangnya, salah satu kakaknya mengidap influenza.Penyakit ini dengan cepat menulari Zaim yang membuat Zaim segera mengidap penyakit yang sama. Zaim pun mengalami demam. Alhasil, sesuai dengan protokol atau prosedur bagi anak-anak yang tengah menjalani kemo, ketika demam harus segera masuk ke ruang isolasi. Selama di ruang isolasi, Zaim harus diberikan anti biotik (intravena) dan secara rutin periksa darah. Prosedur ini  dimaksudkan untuk menjaga agar Zaim tidak terkena penyakit atau infeksi sekunder (penyakit yang datang diluar obat kemo. Umumnya hal ini sangat ditakuti oleh mereka yang tengah menjalani kemo). Selama masuk ruang isolasi, otomatis  jadwal kemo sementara harus berhenti. Akibatnya jadwal kemotherapy menjali lebih lama. Selain tentu  saja biaya juga bertambah. Umumnya selama satu pekan Zaim di rawat di ruang isolasi, kami harus mengeluarkan biaya antara RM 800 hingga RM 1000 tergantung pada kasus.


Januari 2013
Di bulan Januari, Zaim melanjutkan kemo. Sesuai dengan jadwal, saya dan istri gantian mengantar Zaim mendapatkan suntikan kemo di Unit Layanan Harian (Daycare) PPUKM. Kadang-kadang kami pergi bersama, terkadang sendiri. Terkadang juga kakaknya ikut mendampingi Zaim. Namun umumnya Zaim lebih senang jika didampingi  orang tua dan kakak-kakaknya.
Pada bulan itu, Zaim juga mengeluhkan badannya yang panas. Kondisi badan Zaim juga lemas. Kondisi ini dikhawatirkan syaraf Zaim terkena efek kemo. Akhirnya dokter merekomendasi Zaim diperiksa dengan MRI. Alhamdulillah hasil pemeriksaan melegakan kami. Zaim hanya terkena efek sementara obat kemo (bukan permanen).
Pada tanggal 20 Januari 2013, saya dan kedua kakak Zaim  pulang ke Aceh. Mereka harus sekolah seperti biasa. Sedangkan Zaim dan istri harus kembali menjani hari-hari berat di Malaysia. Saat itu saya hanya dapat berdo'a semoga Allah memudahkan urusan istri dan anakku.

Februari 2013 
Di bulan Februari, Zaim menjalani kemotherapy fase Escalating Capizi Maintenance I.  Pada fase ini  Zaim harus menjalani kemotherapy  dengan jenis obat seperti:
 - Vincristine : 1,5 mg/: mm2 IV (maximum 2 mg)
 - Methotrexate : 100 mg/m2 IV
 - Asparagise : 6000 units/m2
 - dan Intrathecal Methotrexate 
Semua obat itu diberikan secara berkala sesuai dengan jadwal. Seperti contoh; untuk asparagise biasanya selama dua pekan ada enam kali suntik Aspa. Selain  diberikan melalui jalur suntik (intravena), juga ada juga yang diminum seperti dexa dan Methotrexate.
Tidak lama di Aceh, saya kembali ke Malaysia bersama Muthia dan Faiza. Karena kelelahan, Muthia dan Faiza sakit  begitu tiba di Kuala Lumpur. Akibatnya Zaim ketularan kembali penyakit kakaknya dan harus masuk isolasi (capek dech). Bukan itu saja, di bulan Februari Zaim merasakan kesakitan. Badanya terasa panas seperti bara api. Selama tiga hari tiga malam Zaim menangis di ruang isolasi. Zaim akhirnya masuk ke bilik Ultrasound untuk mengetahui penyebab sakitnya. Akhirnya disimpulkan bahwa sakit yang diderita Zaim akibat efek kemotherapy. Kondisi ini juga diderita oleh anak-anak lain yang menjalani kemo.

Efek kemo ini membuat Zaim tidak bisa tidur dan mengalami kesakitan selama tiga hari tiga malam. Lalu  setelah efek kemo itu menghilang, tiga hari tiga malam Zaim tertidur lemas. Dia seperti habis bertempur habis-habisan dan kini kelelahan. Sabar ya anakku. 

Di bulan Februari itu juga, saya bolak balik ke Sekolah Rendah di dekat hospital untuk mengurus perpindahan sekolah anak saya. Saya juga harus pergi Jabatan Pentadbiran  Pendidikan (Seperti Depdinas) di Jalan Duta. Akhirnya dengan selama sentosa urusan memindahkan anak itu ditolak mentah-mentah karena kebetulan saya hanya menggunakan Visa Melancong. Padahal jenis Visa yang diperlukan untuk menyekolahkan anak adalah jenis Visa Profesional (Kerja) atau Visa Study.  Meskipun ditolak, saya bersyukur karena mungkin itu yang terbaik.

 
Karena hari itu hari Jum'at, sebagai bentuk rasa syukur atas "ditolaknya" pengurusan memindahkan anak, saya sholat Jum'at di Masjid Wilayah Persekutuan yang sangat indah itu. Setelah itu saya makan Nasi Briani  yang nikmat sampai kenyang. Alhamdulillah.  
 
 
Maret 2012
Fase 3 di bulan Maret adalah fase yang sangat berat dalam perjalanan kemotherapy Zaim. Efek obat kemo seperti Aspa dan jenis obat lainnya membuat Zaim susah untuk makan. Tidak hanya itu saja, Zaim juga susah buang air besar. Kondisi ini membuat kondisi Zaim agak mengkhawatirkan. Saya selalu merasa ngilu ketika melihat kondisi badan Zaim yang sangat kurus itu.


Pandangan mata Zaim terlihat sayu dan sangat tersiksa. Badannya kurus dengan kondisi tulang-tulang menyembul. Badan Zaim seperti sangat rapuh dan begitu lemah. Kondisi badannya sangat berbeda dengan beberapa bulan sebelumnya. 
Seperti orang tua lainnya  melihat kondisi anaknya yang tengah menjalani kemo, kami bukan hanya prihatin, tetapi juga frustasi. Ingin rasanya mengakhiri penderitaan buah hati kita tercinta. Tidak kuat kita melihat penderitaan anak kita yang tengah menjalani kemo. Tetapi kami juga sepenuhnya sadar bahwa apapun ceritanya, kemotehrapi harus terus dijalankan. Karena inilah cara terbaik ikhtiar untuk mengharapkan kesembuhan dari Allah.

Selain  faktor obat kemo, Zaim juga pernah menderita mencret (Ciret Birit kata orang Malaysia). selama berhari-hari. Saat itu secara tidak sengaja saya membeli Bubur Ayam. Rupanya bubur tersebut sudah agak basi. Makanan itulah penyebab Zaim muntah dan mencret. Kondisi Zaim yang sebelumnya kurus, kini malah dehidrasi akibat muntah dan mencret tersebut. Menurut kami, inilah salah satu titik kritis Zaim. Pihak dokter sendiri khawatir dengan kondisi Zaim yang sangat lemah dan dehidrasi tersebut. Pihak hospital sampai mendatangkan pakar gizi untuk Zaim. 
 
 
April 2013
Bulan April merupakan salah satu bulan kebahagian bagi Zaim. Di bulan tersebu, setelah hampir enam bulan di Malaysia, Zaim diperbolehkan pulang ke Aceh. Momentum kepulangan itu dikarenakan ada jeda jadwal berobat Zaim dari Fase tiga ke Fase Empat. Dokter di Malaysia menyarankan Zaim untuk pulang ke Indonesia. Umumnya pasien Kanker Darah seperti Zaim, mereka bukan hanya membutuhkan obat medis. Tetapi juga dukungan psikologis. Perasaan senang dan gembira sedikit banyak mendukung. keberhasilan proses kemotherapy.
Selama di Aceh, Zaim kembali dapat tidur dengan nyenyak, bermain di taman juga  makan ikan kesukaannya. Sesekali keliling saya membawa Zaim keliling kampung dengan sepeda motor. Di bulan April, Zaim mulai rutin mengkonsumsi juz. Pada awalnya kami memberikan juz dalam porsi sedikit (sekitar 30 mil). Juz ini kami buat sendiri. Biasanya untuk bahan juz kami mencampur jenis buah seperti Buah Bit, Kurma, Kiwi atau Apel Merah. Belakangan selama di Malaysia kami mencampur dengan buah Prune yang sudah dikeringkan. Memberikan juz bagi kami merupakan salah satu tahan penting bagi proses perjalanan Zaim. Hal ini nampak pada hasil pemeriksaan darah yang umumnya cenderung lebih bagus. Sejak mengkonsumi juz, Zaim mulai jarang masuk ruang isolasi ataupun transfusi darah. Juz tersebut juga membuat kondisi pencernaan Zaim, terutama ketika buang air besar mulai membaik. Sekedar catatan tambahan, untuk memudahkan memberikan juz pada Zaim kami menggunakan Ciringe. Alat ini terbukti lebih efektif sebagai cara untuk memberikan obat atau juz pada Zaim.
Tidak sampai dua pekan di Aceh,  kami harus kembali ke Malaysia untuk melanjutkan rawatan Zaim yang masih separuh lagi. Di bulan April, Zaim kembali menjali operasi Bone Marrow untuk ketiga kalinya. Hasilnya sel Kanker di dalam Zaim tinggal 4 persen. Menurut dokter, itu artinya obat kemo dapat bekerja dengan baik membunuh sel kanker. Alhamdulillah.



        Di bulan April,  Zaim memasuki fase 4  Reinduktion dan Reconsolidation,  atau  istilah lainnya Entered Delayed Intensification. Seperti fase-fase sebelumnya, pada fase reinduction Zaim harus menjalani kemotherapy  dengan jenis obat seperti :
  -Vincristine : 1,5 mg/: mm2 IV (maximum 2 mg)
  - Doxorubicin : 25 mg/m2
   - Methotrexate : 100 mg/m2 IV 
   - Dexamethasone : 10 mg/m2/day
   - Asparagise : 6000 units/m2
   - dan Intrathecal Methotrexate 
Adapun pada fase Reconsolidation; Zaim harus menjalani kemotherapy dengan rincian obat seperti :
- Cylopnosphamide 1000 mg/m2 IV
- Mercaptopurine 60 mg/m2/day
 -Vincristine : 1,5 mg/: mm2 IV (maximum 2 mg)
 - Asparagise : 6000 units/m2
  - dan Intrathecal Methotrexate 




Dari beberapa jenis obat kemo itu, umumnya yang berat seperti Doxorubicin dan Cylopnosphamide.  Meskipun fase ini berat, alhamdulillah kondisi berat badan Zaim mulai membaik. Pada sisi yang lain, rambut Zaim banyak berguguran. Boleh dibilang kondisi kepala Zaim botak licin karena tidak ada lagi rambut yang menempel di kulit kepalanya. Keguguran pada rambut merupakan efek sementara selama kemo. Umumnya rambut itu akan tumbuh lagi sesuai dengan dosis obat kemo yang mulai berkurang. 
Setengah perjalanan merawat Zaim, saya sudah merasa sepenuhnya tua. Tidak ada ungkapan yang lebih pas kecuali syukur pada Nya. (bersambung)