Ini cerita sederhana tentang
kebaikan yang menjelma layaknya boomerang. Ini cerita tentang hal sederhana
yang membuka hati manusia. Bahwa pada akhirnya kebaikan kecil yang kita
lakukan, belum tentu kecil bagi orang lain. Kebaikan sekecil apapun, karena
niatan tulus dari sanubari kita, dapat bermanifestasi menjadi kebaikan yang
begitu berarti, memoarable, dan abadi dalam jalinan ingatan orang lain. Seperti
karang yang tegak di pinggir pantai, akan berdiri kokoh sekalipun dihantam
ombak.
Ini cerita tentang pengalaman hidup saya. Cerita saya dimulai dengan memperkenalkan tokoh
bernama Fitriani—bisa nama sebenarnya bisa juga tokoh rekaan. Biasa dipanggil dengan
sebutan Pipit. Nama panggilan yang singkat memang. Tetapi tidak sesingkat itu
kenangan saya kepada Pipit. Saya mengenal dengan Pipit ketika menjadi pengasuh
pondok yatim di Istanbul Dormitory. Pondok yatim ini didirikan untuk menampung
anak-anak korban tsunami hasil kerja sama yang apik antara NGO IHH Turky dengan
PKPU Aceh. Pipit sendiri adalah survivor tsunami. Ayah dan bundanya
hilang bersama gelombang dahyat yang melanda Aceh medio Desember 2004. Semenjak
gelombang itu, Pipit memiliki status baru. Yatim piatu. Maka sejak saya menjadi
pimpian pondok yatim, saya memperoleh panggilan baru dari Pipit dan
kawan-kawannya. Abi.
Cerita saya—dan istri tentu
saja—kepada Pipit boleh dibilang biasa. Tiada yang istimewa. Sebagai pengasuh
pondok yang membawahi sekitar seratus anak yatim, saya harus adil membagi kasih
sayang kepada anak-anak tersebut. Nama Pipit boleh dibilang bagian dari data
statistik anak-anak yatim korban tsunami yang tinggal di pondok. Lalu peristiwa
tidak biasa terjadi. Suatu hari istri mendapatkan tugas da’wah dari lembaganya
untuk berangkat ke Takengon, Aceh Tengah. Sebagai suami yang baik hati, saya
pun mengantarkan dan mendampingi istri. Kami menyewa mobil rental. Karena mobil lebih dari cukup untuk menampung
saya istri beserta kedua putrid Muthia dan Faiza, akhirnya kami pun mengajak
beberapa anak yatim di pondok. Pipit salah satunya.
Tidak ada kebetulan di dunia
ini. Semuanya telah tertulis dengan rapi dalam catatan Nya. Hari ketika kami
mengajak Pipit jalan-jalan ke Takengon rupanya hari ulang tahunnya. Sebuah kado
ulang tahun yang tidak pernah dia cicipi semenjak ayah dan bundanya berpulang
ke kampong syurga. Selepas pulang dari Takengon, aku tidak bahwa dalam
bilik-bilik pondok yatim Pipit bercerita kepada kawan-kawannya. Bahwa hari itu
dia memperoleh kado terindah dari Abi dan Ummi jalan-jalan ke Danau Laut Tawar Takengon. Ketika
Pipit dengan semangatnya bercerita kepada kawan-kawannya itu, bisa jadi aku
telah tertidur kelelahan dari perjalanan.
Peristiwa itu terjadi pada tahun
2009. Awal tahun 2010 saya mengundurkan sebagai pimpinan pondok untuk
memberikan kesempatan pada orang lain mendapatkan pahala. Komunikasi dengan
Pipit dan kawan-kawan tetap terjalin sekalipun tidak seintens ketika
kami masih tinggal di Istanbul Dormitory.
Selang beberapa tahun kemudian,
Allah memberikan salah satu kado terindahnya dengan memberikanku seorang anak
lelaki. Bayi mungil berwarna merah jambu itu aku beri nama Zaim yang berarti
pemipin. Besar harapan bahwa Zaim kelak menjadi pempimpin seperti Hasan al
Banna, Al Maududi atau Natsir. Hanya saja seperti kisah pemimpin-pemimpin besar
yang kusebut nama mereka, Zaim pun melewati jalan yang tidak mudah. Pada umur 2
tahun, Zaim divonis mengidap Kanker Darah atau yang disebut Leukemia.
Perjalanan ikhtiar kami
menyembuhkan Zaim ke Malaysia membuka jalinan takdir yang lain. Aku dan istriku
berjumpa lagi dengan gadis kecil yang dulu kami asuh di pondok yatim, Pipit.
Saat kami merawat Zaim di Malaysia, Pipit bukan lagi anak SMA yang suka
mengenakan tas dengan gambar boneka lucu yang menjulurkan lidahnya. Pipit kecil
itu telah menjadi Pipit besar dengan status baru mahasiswi dari Universitas
bergengsi di Negeri Petronas Tower, University International Antar Bangsa
Malaysia (UIAM).
Pipit dan kawan-kawannya
beberapa kali mengunjungi Zaim yang tengah dirawat di hospital PPUKM.Yang aku ingat Pipit membawakan baju
koko dan boneka ikan yang sangat besar. Hadiah sederhana itu membuat Zaim
tersenyum bahagia, membuat kami menangis haru. Rupanya cerita tidak sesederhana
itu saja. Di bilik asrama UIAM, mahasiswi ini mulai rajin bercerita tentang
kenangan lama. Bahwa dia dulu pernah diberikan kado indah jalan-jalan ke
Takengon oleh kami. Saat ini orang yang telah memberikan kado indah itu sedang
membutuhkan bantuan karena anaknya mengidap kanker.. Dengan giat dan rajin
Pipit selalu mengulangi cerita yang sama kepada kawan-kawannya. Jalinan cerita
itu berlanjut melalui sebuah gerakan bernama Coin for Zaim. Dalam
gerakan Coin for Zaim berhimpun mahasiswa-mahasiswa Aceh yang tengah
menuntut ilmu di Malaysia seperti Pipit, Rohana, Bobby Kamaruzzaman, Moamar Khadafi
dan nama-nama lain yang tidak dapat aku ingat satu persatu. Anak-anak muda berhati malaikat ini dengan
aktif menggalang dana kemanusian untuk disumbangkan pada Zaim. Saya melihat
mereka bersungguh-sungguh dalam menjaring pahala dari Allah melalui Coin for
Zaim. Hal ini ditandai dengan hasil maksimal dana pengobatan Zaim melalui
kegiatan amal tersebut hingga mencapai RM 10.000 atau setara dengan gaji saya
setahun di Indonesia. Subhanallah.
Menjelang kepulangan Zaim ke
Indonesia, seiring dengan selesainya rawatan intensif di Malaysia, saya meminta
merubah nama dari Coin for Zaim
menjadi Coin for Humanity. Kelak dengan pergantian nama tersebut semoga
banyak Zaim-Zaim lain yang dapat dibantu. Saya bangga dan terharu dengan
keberadaan anak-anak muda inspiratif tersebut, termasuk Pipit di dalamnya.
Semoga Allah memudahkan urusan mereka dan mengganti kebaikan tersebut dengan
pahala yang banyak.
Pada
titik ini saya sadar bahwa kebaikan itu seperti boomerang—nama senjata dalam
suku Indian. Hari ini kita melemparkan boomerang kebaikan kepada orang lain,
suatu hari nanti boomerang kebaikan itu akan kembali kepada kita. “Jika kalian berbuat Baik (berarti) kalian berbuat Baik untuk dirimu
sendiri,Dan jika kalian berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu
untuk dirimu sendiri”.. (QS. Al Isra : 7).
Wallahu’alam
bis shawab.