Selasa, 21 Januari 2014

Kebaikan Itu Seperti Buumerang




                Ini cerita sederhana tentang kebaikan yang menjelma layaknya boomerang. Ini cerita tentang hal sederhana yang membuka hati manusia. Bahwa pada akhirnya kebaikan kecil yang kita lakukan, belum tentu kecil bagi orang lain. Kebaikan sekecil apapun, karena niatan tulus dari sanubari kita, dapat bermanifestasi menjadi kebaikan yang begitu berarti, memoarable, dan abadi dalam jalinan ingatan orang lain. Seperti karang yang tegak di pinggir pantai, akan berdiri kokoh sekalipun dihantam ombak.
                Ini  cerita tentang pengalaman hidup saya.  Cerita saya dimulai dengan memperkenalkan tokoh bernama Fitriani—bisa nama sebenarnya bisa juga tokoh rekaan. Biasa dipanggil dengan sebutan Pipit. Nama panggilan yang singkat memang. Tetapi tidak sesingkat itu kenangan saya kepada Pipit. Saya mengenal dengan Pipit ketika menjadi pengasuh pondok yatim di Istanbul Dormitory. Pondok yatim ini didirikan untuk menampung anak-anak korban tsunami hasil kerja sama yang apik antara NGO IHH Turky dengan PKPU Aceh. Pipit sendiri adalah survivor tsunami. Ayah dan bundanya hilang bersama gelombang dahyat yang melanda Aceh medio Desember 2004. Semenjak gelombang itu, Pipit memiliki status baru. Yatim piatu. Maka sejak saya menjadi pimpian pondok yatim, saya memperoleh panggilan baru dari Pipit dan kawan-kawannya. Abi.

                Cerita saya—dan istri tentu saja—kepada Pipit boleh dibilang biasa. Tiada yang istimewa. Sebagai pengasuh pondok yang membawahi sekitar seratus anak yatim, saya harus adil membagi kasih sayang kepada anak-anak tersebut. Nama Pipit boleh dibilang bagian dari data statistik anak-anak yatim korban tsunami yang tinggal di pondok. Lalu peristiwa tidak biasa terjadi. Suatu hari istri mendapatkan tugas da’wah dari lembaganya untuk berangkat ke Takengon, Aceh Tengah. Sebagai suami yang baik hati, saya pun mengantarkan dan mendampingi istri. Kami menyewa mobil rental.  Karena mobil lebih dari cukup untuk menampung saya istri beserta kedua putrid Muthia dan Faiza, akhirnya kami pun mengajak beberapa anak yatim di pondok. Pipit salah satunya.
                Tidak ada kebetulan di dunia ini. Semuanya telah tertulis dengan rapi dalam catatan Nya. Hari ketika kami mengajak Pipit jalan-jalan ke Takengon rupanya hari ulang tahunnya. Sebuah kado ulang tahun yang tidak pernah dia cicipi semenjak ayah dan bundanya berpulang ke kampong syurga. Selepas pulang dari Takengon, aku tidak bahwa dalam bilik-bilik pondok yatim Pipit bercerita kepada kawan-kawannya. Bahwa hari itu dia memperoleh kado terindah dari Abi dan Ummi jalan-jalan ke Danau Laut Tawar Takengon. Ketika Pipit dengan semangatnya bercerita kepada kawan-kawannya itu, bisa jadi aku telah tertidur kelelahan dari perjalanan.
                Peristiwa itu terjadi pada tahun 2009. Awal tahun 2010 saya mengundurkan sebagai pimpinan pondok untuk memberikan kesempatan pada orang lain mendapatkan pahala. Komunikasi dengan Pipit dan kawan-kawan tetap terjalin sekalipun tidak seintens ketika kami masih tinggal di Istanbul Dormitory.
                Selang beberapa tahun kemudian, Allah memberikan salah satu kado terindahnya dengan memberikanku seorang anak lelaki. Bayi mungil berwarna merah jambu itu aku beri nama Zaim yang berarti pemipin. Besar harapan bahwa Zaim kelak menjadi pempimpin seperti Hasan al Banna, Al Maududi atau Natsir. Hanya saja seperti kisah pemimpin-pemimpin besar yang kusebut nama mereka, Zaim pun melewati jalan yang tidak mudah. Pada umur 2 tahun, Zaim divonis mengidap Kanker Darah atau yang disebut Leukemia.
                Perjalanan ikhtiar kami menyembuhkan Zaim ke Malaysia membuka jalinan takdir yang lain. Aku dan istriku berjumpa lagi dengan gadis kecil yang dulu kami asuh di pondok yatim, Pipit. Saat kami merawat Zaim di Malaysia, Pipit bukan lagi anak SMA yang suka mengenakan tas dengan gambar boneka lucu yang menjulurkan lidahnya. Pipit kecil itu telah menjadi Pipit besar dengan status baru mahasiswi dari Universitas bergengsi di Negeri Petronas Tower, University International Antar Bangsa Malaysia (UIAM). 
  
                Pipit dan kawan-kawannya beberapa kali mengunjungi Zaim yang tengah dirawat di hospital  PPUKM.Yang aku ingat Pipit membawakan baju koko dan boneka ikan yang sangat besar. Hadiah sederhana itu membuat Zaim tersenyum bahagia, membuat kami menangis haru. Rupanya cerita tidak sesederhana itu saja. Di bilik asrama UIAM, mahasiswi ini mulai rajin bercerita tentang kenangan lama. Bahwa dia dulu pernah diberikan kado indah jalan-jalan ke Takengon oleh kami. Saat ini orang yang telah memberikan kado indah itu sedang membutuhkan bantuan karena anaknya mengidap kanker.. Dengan giat dan rajin Pipit selalu mengulangi cerita yang sama kepada kawan-kawannya. Jalinan cerita itu berlanjut melalui sebuah gerakan bernama Coin for Zaim. Dalam gerakan Coin for Zaim berhimpun mahasiswa-mahasiswa Aceh yang tengah menuntut ilmu di Malaysia seperti Pipit, Rohana, Bobby Kamaruzzaman, Moamar Khadafi dan nama-nama lain yang tidak dapat aku ingat satu persatu.  Anak-anak muda berhati malaikat ini dengan aktif menggalang dana kemanusian untuk disumbangkan pada Zaim. Saya melihat mereka bersungguh-sungguh dalam menjaring pahala dari Allah melalui Coin for Zaim. Hal ini ditandai dengan hasil maksimal dana pengobatan Zaim melalui kegiatan amal tersebut hingga mencapai RM 10.000 atau setara dengan gaji saya setahun di Indonesia. Subhanallah. 

                Menjelang kepulangan Zaim ke Indonesia, seiring dengan selesainya rawatan intensif di Malaysia, saya meminta merubah nama  dari Coin for Zaim menjadi Coin for Humanity. Kelak dengan pergantian nama tersebut semoga banyak Zaim-Zaim lain yang dapat dibantu. Saya bangga dan terharu dengan keberadaan anak-anak muda inspiratif tersebut, termasuk Pipit di dalamnya. Semoga Allah memudahkan urusan mereka dan mengganti kebaikan tersebut dengan pahala yang banyak.   
Pada titik ini saya sadar bahwa kebaikan itu seperti boomerang—nama senjata dalam suku Indian. Hari ini kita melemparkan boomerang kebaikan kepada orang lain, suatu hari nanti boomerang kebaikan itu akan kembali kepada kita.  “Jika kalian berbuat Baik (berarti) kalian berbuat Baik untuk dirimu sendiri,Dan jika kalian berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri”.. (QS. Al Isra : 7).
Wallahu’alam bis shawab.