Rabu, 18 Desember 2013

Karena Sesungguhnya Ujian Itu Indah




“Jalan hidup kita, adalah skenario terbaik yang Allah berikan kepada kita. Jalanilah peranmu sebaik mungkin.”—Mohammad al Azhir
Pernahkah Tuan memperoleh ujian yang begitu dahsyat? Dada terasa begitu sesak, pikiran kalut tidak tentu arah. Berdiri kaki-kaki bergoyang, duduk tidak merasa nyaman dan tidur pun tidak tenang. Kondisi bertambah parah, saat kita harus segera memutuskan pengobatan terbaik untuk orang yang kita cintai. Apakah berobat di dalam negeri ataupun ikhtiar ke luar negeri, semuanya memerlukan biaya yang sangat mahal. Padahal saat itu jangankan asuransi kesehatan atau cadangan uang darurat, uang belanja harian pun kami harus atur sedemikian rupa. Maka tidak pilihan kecuali menjual apa yang ada demi nyawa orang yang kita cintai.
Maka dalam bayangkanlah ketika dalam tempo yang tidak lama, Tuan harus menjual harta yang sudah dikumpulkan bertahun-tahun. Harta-harta itu begitu lama kita kumpulkan, satu demi satu, sedikit demi sedikit. Lalu pada suatu waktu, Tuan harus melepaskan semua harta itu. Melepaskan benda demi benda yang pernah membekas dalam hati itu.  Semua itu ditukar atau dijual demi diganti dengan beberapa lembar uang untuk mempertahankan nyawa orang yang kita cintai. Tuan, saya pernah mengalami semua itu.
Ujian itu terjadi ketika anak yang ketiga, Zaim Abdirahman Nuri, didiagnosa mengidap penyakit Kanker Darah. Jamak  disebut Leukemia. Umur Zaim baru berumur dua tahun ketika aku dan istri diberitahu oleh dokter tentang jenis penyakit putra kami. Usia yang hampir sama dengan Mike Scott Si Batman Kecil dari San Francisco yang saat ini tengah ramai diberitakan oleh media massa.
Kanker, apapun jenisnya merupakan monster dari segala jenis penyakit. Saya yakin orang tua yang tengah tertidur lelap setelah seharian membanting tulang, saat itu juga akan bangun dari tidur begitu mengetahui anaknya mengidap penyakit Kanker. Bagiku kabar mengenai penyakit Kanker yang mendera putraku telah mengubah mimpi-mimpi yang indah menjadi mimpi buruk. Tidak ada lagi mimpi indah tentang danau sepi dimana angsa-angsa berenang dengan tenang. Tidak ada lagi mimpi tentang kolam yang yang dipenuhi dengan permen coklat atau manisan seperti dalam imajinasi kakak-kakaknya Zaim. Saat itu rasanya langit-langit runtuh, bumi terbelah. Sujud-sujud kami adalah rintihan do’a pengharapan berhiaskan butiran-butiran tasbih air mata.
Seiring air mata kami yang mulai mengering, lahirlah kesadaran dalam sanubari kami. Kesadaran akan ajaran langit yang tidak pernah menginginkan hamba Nya hanya duduk meratapi kesedihan. Allah Sang Sutradara kehidupan menginginkan kami terus melakoni skenario  kehidupan yang telah dibuat Nya. Allah sangat tahu, ujian ini tidak hanya sesuai atau pantas dengan kemampuan hamba Nya. Tapi Allah juga meyakinkan bahwa kami, kita juga saya mampu melewati ujian kehidupan ini. Selama semburat sinar matahari masih terbit di pagi hari, selama burung-burung masih terbang dengan ceria dan selama bayi bayi lucu terus lahir dari perut ibundanya, maka selama itu juga Allah masih menginginkan kehidupan ini terus berjalan. Allah menginginkan kita  terus berusaha. Allah mencintai hamba Nya gigih dan pantang menyerah mendaki segala macam ujian dalam kehidupan kita ini. Sampai pada masa nantinya kita telah selesai mengarungi semua gunung-gunung ujian dalam kehidupan ini.  
Kesadaran itulah yang membuatku bangkit dan berusaha mencari obat bagi penyakit Kanker Darah yang mendera anakku. Sang Nabi pernah bersabda semua penyakit itu pasti ada obatnya. Tergantung sejauh mana kita berusaha untuk mencari obat tersebut. Untuk itulah kita senantiasa dianjurkan untuk berdo’a selain wajib berusaha. Do’a bagaimanapun juga saudara kembar dari usaha. Keduanya akan saling melengkapi sepanjang jalan tadir membersamai kita.
Ikhtiar itu membuatku memutuskan untuk berangkat ke Malaysia dengan tujuan memperoleh perawatan terbaik. Aku dan istriku menghargai keterusterangan dokter di Aceh yang menyatakan rumah sakit di daerah kami tidak cukup memiliki fasilitas dan sumber daya yang terbaik bagi penanganan Kanker Darah. Terutama untuk tahap awal rawatan yang memakan waktu satu tahun. Tahap intensif merupakan tahan penting dalam tahap kemotherapy. Dalam tahap ini juga seorang pasien sangat rentan tertular atau terjangkit infeksi penyakit dari orang lain dikarenakan efek kemoterapy. Maka beranjak dari nasehatnya, Malaysia menjadi tempat kami mencari takdir terbaik bagi anak saya. Terlintas berat juga beratnya menjalani karena harus menjalani pengobatan di negeri orang lain; jauh dari saudara, lingkungan yang asing juga biaya yang tidak tahu berapa akan habis. Saya juga membayangkan ketakutan jika tiba-tiba Allah memanggil putra kami saat di Malaysia. Namun saya menguatkan diri kalaupun Allah berkenan memanggil Zaim, maka saya sudah ridho karena itu benang takdir yang sudah digariskan Nya. Namun jika Zaim meninggal karena lemahnya semangat orang tuanya dalam ikhtiar mencari pengobatan terbaik, mungkin bisa jadi saat ini saya akan meratapi diri tentang betapa rapuhnya jiwa saya ini.
Bagi orang Aceh, ada perumpamaan yang menyatakan ke Malaysia kami melompati parit. Sementara untuk ke Jakarta kami perlu menyeberangi  sungai. Begitulah jarak geografis antara Aceh dengan Malaysia. Maka aku tidak heran ketika mendengar kabar uang 300 milyar rupiah milik orang Aceh mengalir ke Malaysia tiap tahunnya dari sektor kesehatan. Pengobatan instensif setahun Zaim di Malaysia memakan uang 80.000 hingga 100.000 ringgit Malaysia, setara dengan uang  240 hingga 300 juta rupiah. Saat itu sempat frustasi dengan angka perkiraan itu. Padahal sepeda motor, mobil hingga rumah yang saya miliki tidak cukup untuk menutupi besaran biaya pengobatan Zaim. Tawakal bukan jalan keputusaan melainkan jalan kepasrahan kepada Allah setelah kita berusaha habis-habisan. Aku ingat saat-saat berkesan waktu itu. Setelah meminjam uang kepada beberapa orang dan menjual mobil bekas, saya hanya berkata kepada Allah, “Ya Allah, hanya ini yang Kau titipkan padaku. Kupinta tambahkanlah kekurangannya.”
Saya menggunakan perantara update Facebook dan status Blackberry Messenger (BBM) untuk memberitahukan kondisi Zaim pada khalayak publik. Cara ini sesungguhnya semacam soft fundraising. Saya pada posisi membutuhkan bantuan tetapi tidak mengucapkannya. Perlu dipahami bahwa saya tidak pernah mengirimkan pesan atau mengupdate status dengan kalimat meminta uang. Cara ini sesungguhnya hanya akan merendahkan jiwa kita, bukan saja di di mata manusia tetapi di sisi Allah. Karena sesungguhnya hanya kepada Nya lah kita meminta pertolongan.
Maka untuk itu saya memilih cara mengupdate  kondisi Zaim selama menjalani kemotherapy. Misalnya saja saya mengunggah gambar Zaim yang tengah tertidur pulas selepas operasi Bone Marrow (pengambilan cairan sumsum tulang belakang). Saya juga mempublish gambar Zaim yang tengah merintih kesakitan saat nurse-nurse tengah membuat line bagi masuknya obat kemotherapy atau cairan infus. Saya percaya sebuah gambar yang baik tidak hanya mewakili ribuan baris puisi, tetapi juga menggugah hati manusia.
Setelah berusaha dan berdo’a, Allah lah yang kemudian memainkan perannya dengan menggerakkan hati manusia. Diantara manusia-manusia pilihan itu, ada diantara mereka yang membuat tabung peduli, menjual merchandise hingga mengetuk pintu demi pintu hati manusia dengan tujuan mengumpulkan dana pengobatan bagi Zaim. Entah berapa ribu orang yang telah membantu biaya pengobatan Zaim. Hanya Allah lah yang mampu membalas semua kebaikan itu. Adapun saya dan istri, selain berjuang habis-habisan mendampingi Zaim melawan kanker, juga mencari penghasilan tambahan dengan cara menjual kaos kaki, bros, baju, jilbab, sari kurma serta barang komoditi lainnya.
Oktober 2012 hingga Oktober 2013, bagi kami adalah tahun-tahun terberat dalam mendampingi putra tercinta melawan kanker. Rasanya badan kami lelah dan bathin. Selama itu kami mencatat peristiwa membuat dada kami sesak, kesabaran kami diuji dan kekhawatiran yang tidak pernah ada habisnya. Anak-anak yang sedang menjalani kemoterapy biasanya mengalami kondisi-kondisi terberat diakibatkan efek samping obat tersebut. Anak-anak tersebut mereka tidak nyaman dengan badannya, akibatnya sering marah-marah dan mengamuk tidak menentu. Mereka tidur yang tidak nyenyak dan bangun dengan kondisi badan yang tidak nyaman. Belum selama fase intensif Zaim harus bolak balik masuk ruang isolasi jika kondisi badannya. Setiap saat secara berkala harus tranfusi darah merah juga darah putih(platelet/trombosit), kaki yang sakit, hingga seperti lumpuh. Juga mulut kering dan pecah-pecah serta sariawan yang berat, rambut yang gugur sampai botak, lebam-lebam juga nyeri sendi, tidak bisa buang air besar hingga keluar darah juga muntah serta mencret yang mengharuskan mengganti seprey dalam 5 menit sekali.
Dalam hal uang, kami juga pernah mengalami indahnya bertawakal, setelah buntu rasanya usaha kami. Saat itu zaim tiba-tiba demam karena efek samping kemoterapy. Hingga harus masuk ruang isolasi selama 1 minggu. Dan saat itu kami sedang kosong, dalam arti tidak mencukupi untuk membayar rumah sakit yang bisa mencapai 800 ringgit lebih. Kami sangat yakin, Allah akan kirimkan sejumlah yang akan kami bayar nanti, dan subhanallah. Hari zaim akan keluar rumah sakit ada seorang kawan yang menyampaikan donasi sebesar 850 RM.
Tuan, tanpa bermaskud mendikte, ujian hidup ini ibarat kita dipaksa untuk mendaki gunung. Kita harus melewati lembah, menuruni jurang, menapaki sabana juga merangkaki bukit gemukit. Pelan namun pasti kita akan berjalan naik. Lalu pada suatu saatnya  nanti setelah kucuran keringat dan kelelahan yang sempurna, kita benar-benar akan berdiri di puncak gunung. Sungguh saat itu tidak ada perasaan yang mampu kita ungkapkan kecuali keterindahan itu sendiri. Kita merasakan kehidupan ini begitu indah. Saat itu mungkin jiwa dan raga kita lelah lahir dan bathin. Namun saat kita duduk atau telentang, sambil memandang langit dan bintang gemintang, kita akan berkata,”Ya Allah,  terima kasih telah membimbingku sejauh ini. Terima kasih telah memberikan kehidupan yang indah ini.”
Wallahu’alam bis shawab.