“Jalan
hidup kita, adalah skenario terbaik yang Allah berikan kepada kita. Jalanilah
peranmu sebaik mungkin.”—Mohammad al Azhir
Pernahkah
Tuan memperoleh ujian yang begitu dahsyat? Dada terasa begitu sesak,
pikiran kalut tidak tentu arah. Berdiri kaki-kaki bergoyang, duduk tidak merasa
nyaman dan tidur pun tidak tenang. Kondisi bertambah parah, saat kita harus segera
memutuskan pengobatan terbaik untuk orang yang kita cintai. Apakah berobat di
dalam negeri ataupun ikhtiar ke luar negeri, semuanya memerlukan biaya yang
sangat mahal. Padahal saat itu jangankan asuransi kesehatan atau cadangan uang
darurat, uang belanja harian pun kami harus atur sedemikian rupa. Maka tidak pilihan
kecuali menjual apa yang ada demi nyawa orang yang kita cintai.
Maka
dalam bayangkanlah ketika dalam tempo yang tidak lama, Tuan harus menjual harta
yang sudah dikumpulkan bertahun-tahun. Harta-harta itu begitu lama kita
kumpulkan, satu demi satu, sedikit demi sedikit. Lalu pada suatu waktu, Tuan harus
melepaskan semua harta itu. Melepaskan benda demi benda yang pernah membekas
dalam hati itu. Semua itu ditukar atau
dijual demi diganti dengan beberapa lembar uang untuk mempertahankan nyawa
orang yang kita cintai. Tuan, saya pernah mengalami semua itu.
Ujian
itu terjadi ketika anak yang ketiga, Zaim Abdirahman Nuri, didiagnosa mengidap
penyakit Kanker Darah. Jamak disebut
Leukemia. Umur Zaim baru berumur dua tahun ketika aku dan istri diberitahu oleh
dokter tentang jenis penyakit putra kami. Usia yang hampir sama dengan Mike
Scott Si Batman Kecil dari San Francisco yang saat ini tengah ramai diberitakan
oleh media massa.
Kanker,
apapun jenisnya merupakan monster dari segala jenis penyakit. Saya yakin orang
tua yang tengah tertidur lelap setelah seharian membanting tulang, saat itu juga
akan bangun dari tidur begitu mengetahui anaknya mengidap penyakit Kanker.
Bagiku kabar mengenai penyakit Kanker yang mendera putraku telah mengubah
mimpi-mimpi yang indah menjadi mimpi buruk. Tidak ada lagi mimpi indah tentang
danau sepi dimana angsa-angsa berenang dengan tenang. Tidak ada lagi mimpi
tentang kolam yang yang dipenuhi dengan permen coklat atau manisan seperti dalam
imajinasi kakak-kakaknya Zaim. Saat itu rasanya langit-langit runtuh, bumi
terbelah. Sujud-sujud kami adalah rintihan do’a pengharapan berhiaskan
butiran-butiran tasbih air mata.
Seiring
air mata kami yang mulai mengering, lahirlah kesadaran dalam sanubari kami. Kesadaran
akan ajaran langit yang tidak pernah menginginkan hamba Nya hanya duduk meratapi
kesedihan. Allah Sang Sutradara kehidupan menginginkan kami terus melakoni
skenario kehidupan yang telah dibuat Nya.
Allah sangat tahu, ujian ini tidak hanya sesuai atau pantas dengan kemampuan hamba
Nya. Tapi Allah juga meyakinkan bahwa kami, kita juga saya mampu melewati ujian
kehidupan ini. Selama semburat sinar matahari masih terbit di pagi hari, selama
burung-burung masih terbang dengan ceria dan selama bayi bayi lucu terus lahir
dari perut ibundanya, maka selama itu juga Allah masih menginginkan kehidupan
ini terus berjalan. Allah menginginkan kita terus berusaha. Allah mencintai hamba Nya
gigih dan pantang menyerah mendaki segala macam ujian dalam kehidupan kita ini.
Sampai pada masa nantinya kita telah selesai mengarungi semua gunung-gunung
ujian dalam kehidupan ini.
Kesadaran
itulah yang membuatku bangkit dan berusaha mencari obat bagi penyakit Kanker
Darah yang mendera anakku. Sang Nabi pernah bersabda semua penyakit itu pasti
ada obatnya. Tergantung sejauh mana kita berusaha untuk mencari obat tersebut. Untuk
itulah kita senantiasa dianjurkan untuk berdo’a selain wajib berusaha. Do’a
bagaimanapun juga saudara kembar dari usaha. Keduanya akan saling melengkapi
sepanjang jalan tadir membersamai kita.
Ikhtiar
itu membuatku memutuskan untuk berangkat ke Malaysia dengan tujuan memperoleh
perawatan terbaik. Aku dan istriku menghargai keterusterangan dokter di Aceh yang
menyatakan rumah sakit di daerah kami tidak cukup memiliki fasilitas dan sumber
daya yang terbaik bagi penanganan Kanker Darah. Terutama untuk tahap awal rawatan
yang memakan waktu satu tahun. Tahap intensif merupakan tahan penting dalam
tahap kemotherapy. Dalam tahap ini juga seorang pasien sangat rentan tertular
atau terjangkit infeksi penyakit dari orang lain dikarenakan efek kemoterapy.
Maka beranjak dari nasehatnya, Malaysia menjadi tempat kami mencari takdir
terbaik bagi anak saya. Terlintas berat juga beratnya menjalani karena harus
menjalani pengobatan di negeri orang lain; jauh dari saudara, lingkungan yang
asing juga biaya yang tidak tahu berapa akan habis. Saya juga membayangkan
ketakutan jika tiba-tiba Allah memanggil putra kami saat di Malaysia. Namun saya
menguatkan diri kalaupun Allah berkenan memanggil Zaim, maka saya sudah ridho
karena itu benang takdir yang sudah digariskan Nya. Namun jika Zaim meninggal
karena lemahnya semangat orang tuanya dalam ikhtiar mencari pengobatan terbaik,
mungkin bisa jadi saat ini saya akan meratapi diri tentang betapa rapuhnya jiwa
saya ini.
Bagi
orang Aceh, ada perumpamaan yang menyatakan ke Malaysia kami melompati parit.
Sementara untuk ke Jakarta kami perlu menyeberangi sungai. Begitulah jarak geografis antara Aceh
dengan Malaysia. Maka aku tidak heran ketika mendengar kabar uang 300 milyar
rupiah milik orang Aceh mengalir ke Malaysia tiap tahunnya dari sektor
kesehatan. Pengobatan instensif setahun Zaim di Malaysia memakan uang 80.000
hingga 100.000 ringgit Malaysia, setara dengan uang 240 hingga 300 juta rupiah. Saat itu sempat
frustasi dengan angka perkiraan itu. Padahal sepeda motor, mobil hingga rumah
yang saya miliki tidak cukup untuk menutupi besaran biaya pengobatan Zaim.
Tawakal bukan jalan keputusaan melainkan jalan kepasrahan kepada Allah setelah
kita berusaha habis-habisan. Aku ingat saat-saat berkesan waktu itu. Setelah meminjam
uang kepada beberapa orang dan menjual mobil bekas, saya hanya berkata kepada
Allah, “Ya Allah, hanya ini yang Kau titipkan padaku. Kupinta tambahkanlah
kekurangannya.”
Saya
menggunakan perantara update Facebook dan status Blackberry Messenger
(BBM) untuk memberitahukan kondisi Zaim pada khalayak publik. Cara ini
sesungguhnya semacam soft fundraising. Saya pada posisi membutuhkan
bantuan tetapi tidak mengucapkannya. Perlu dipahami bahwa saya tidak pernah
mengirimkan pesan atau mengupdate status dengan kalimat meminta uang.
Cara ini sesungguhnya hanya akan merendahkan jiwa kita, bukan saja di di mata
manusia tetapi di sisi Allah. Karena sesungguhnya hanya kepada Nya lah kita
meminta pertolongan.
Maka
untuk itu saya memilih cara mengupdate kondisi Zaim selama menjalani kemotherapy.
Misalnya saja saya mengunggah gambar Zaim yang tengah tertidur pulas selepas
operasi Bone Marrow (pengambilan cairan sumsum tulang belakang). Saya
juga mempublish gambar Zaim yang tengah merintih kesakitan saat nurse-nurse
tengah membuat line bagi masuknya obat kemotherapy atau cairan infus.
Saya percaya sebuah gambar yang baik tidak hanya mewakili ribuan baris puisi,
tetapi juga menggugah hati manusia.
Setelah
berusaha dan berdo’a, Allah lah yang kemudian memainkan perannya dengan
menggerakkan hati manusia. Diantara manusia-manusia pilihan itu, ada diantara
mereka yang membuat tabung peduli, menjual merchandise hingga mengetuk
pintu demi pintu hati manusia dengan tujuan mengumpulkan dana pengobatan bagi Zaim.
Entah berapa ribu orang yang telah membantu biaya pengobatan Zaim. Hanya Allah lah
yang mampu membalas semua kebaikan itu. Adapun saya dan istri, selain berjuang
habis-habisan mendampingi Zaim melawan kanker, juga mencari penghasilan
tambahan dengan cara menjual kaos kaki, bros, baju, jilbab, sari kurma serta
barang komoditi lainnya.
Oktober
2012 hingga Oktober 2013, bagi kami adalah tahun-tahun terberat dalam
mendampingi putra tercinta melawan kanker. Rasanya badan kami lelah dan bathin.
Selama itu kami mencatat peristiwa membuat dada kami sesak, kesabaran kami
diuji dan kekhawatiran yang tidak pernah ada habisnya. Anak-anak yang sedang
menjalani kemoterapy biasanya mengalami kondisi-kondisi terberat diakibatkan
efek samping obat tersebut. Anak-anak tersebut mereka tidak nyaman dengan
badannya, akibatnya sering marah-marah dan mengamuk tidak menentu. Mereka tidur
yang tidak nyenyak dan bangun dengan kondisi badan yang tidak nyaman. Belum
selama fase intensif Zaim harus bolak balik masuk ruang isolasi jika kondisi
badannya. Setiap saat secara berkala harus tranfusi darah merah juga darah
putih(platelet/trombosit), kaki yang sakit, hingga seperti
lumpuh. Juga mulut kering dan pecah-pecah serta sariawan yang berat, rambut
yang gugur sampai botak, lebam-lebam juga nyeri sendi, tidak bisa buang air
besar hingga keluar darah juga muntah serta mencret yang mengharuskan mengganti
seprey dalam 5 menit sekali.
Dalam
hal uang, kami juga pernah mengalami indahnya bertawakal, setelah buntu rasanya
usaha kami. Saat itu zaim tiba-tiba demam karena efek samping kemoterapy.
Hingga harus masuk ruang isolasi selama 1 minggu. Dan saat itu kami sedang
kosong, dalam arti tidak mencukupi untuk membayar rumah sakit yang bisa
mencapai 800 ringgit lebih. Kami sangat yakin, Allah akan kirimkan sejumlah
yang akan kami bayar nanti, dan subhanallah. Hari zaim akan keluar rumah sakit
ada seorang kawan yang menyampaikan donasi sebesar 850 RM.
Tuan,
tanpa bermaskud mendikte, ujian hidup ini ibarat kita dipaksa untuk mendaki
gunung. Kita harus melewati lembah, menuruni jurang, menapaki sabana juga
merangkaki bukit gemukit. Pelan namun pasti kita akan berjalan naik. Lalu pada
suatu saatnya nanti setelah kucuran
keringat dan kelelahan yang sempurna, kita benar-benar akan berdiri di puncak
gunung. Sungguh saat itu tidak ada perasaan yang mampu kita ungkapkan kecuali
keterindahan itu sendiri. Kita merasakan kehidupan ini begitu indah. Saat itu
mungkin jiwa dan raga kita lelah lahir dan bathin. Namun saat kita duduk atau
telentang, sambil memandang langit dan bintang gemintang, kita akan berkata,”Ya
Allah, terima kasih telah membimbingku
sejauh ini. Terima kasih telah memberikan kehidupan yang indah ini.”
Wallahu’alam
bis shawab.