Bukan perkara mudah
ketika kita harus menolak bantuan orang.
Dan itulah yang aku istriku rasakan
tatkala ratusan tangan ingin mengulurkan bantuan pada Zaim. Jujur ada beberapa donatur yang kami tolak
karena satu dan lain factor yang tidak bisa saya sebutkan disini. Tapi
persoalan sebenarnya bukan karena sebab dari luar, tetapi lebih bersifat
internal alias dari dalam diri kami sendiri. Bukannya ingin takabur,
orang-orang disekeilingku selalu mengajarkan bahwa kita boleh saja secara fisik
miskin, namun jangan jiwa kita yang miskin.
Sebelum melepaskan
sauh dari dermaga lajang dan berlanjut mengarungi hidup dalam perahu indah
bernama rumah tangga, aku dan istri sudah terbiasa hidup mandiri. Semasa SD aku
sudah nyambi kerja untuk mari uang saku. Lalu ketika duduk di bangku SMP aku
sempat jualan koran, nyablon maupun serta kerja serabutan lainnya. Semasa duduk
di bangku SMU aku pernah kerja di bengkel sebelum akhirnya menemukan lumbung
emas bernama dunia lomba. Berulang kali
memenangkan lomba debat, lomba karyaa tulis dan menjadi marbot masjid. Lalu
tatkala kuliah, aku nyambi kerja di NGO. Begitu juga istriku. Sebelum resmi aku
persunting sebagai bidadari di istana sederhana, gadis manis asal Aceh itu
punya penghasilan sambilan mengajar Sempoa dan guru Taman Pendidikan Al Qur’an.
Aktivitasnya baru berkurang setelah melahirkan dua putri kami, Muthia dan
Faiza. Baru setelah itu lahir putra kami Zaim.
Delapan tahun menikah
telah kami lewati susah senang bersama. Perjalanan waktu membuat kami mampu
mengumpulkan beberapa benda yang memudahkan kami menjalankan aktivitas rumah
tangga. Pada awalany sepeda motor, alat rumah tangga, peralatan elektronik lalu
yang agak berat adalah mobil. Mengingat kami berasal dari keluarga sederhana,
kami memerlukan waktu dua tahun untuk melunasi sepeda motor dan dua tahun juga
untuk melunasi mobil hasil pinjaman teman. Sejak awal kami sudah paham semua
benda itu adalah titipan dari Allah yang suatu saat bisa jadi diambil kembali.
Lalu tatkala Zaim didiagnosa menderita Leukemia dan memerlukan biaya yang
sangat besar, saat itu juga Allah menarik benda-benda yang sebelumnya
diamanahkan pada kami.
Dokter di Pusat
Perubatan University Kebangsaan Malaysia pernah memberitahu kami bahwa
pengobatan Zaim selama hamper 3 tahun akan menghabiskan uang sekitar 500 hingga 800 juta rupiah. Logika
keuangannya tiba-tiba mentok mengingat
aku belum pernah menerima apalagi menghitung uang sebayak itu. Sejarah
hidupku, uang yang paling banyak yang aku miliki adalah 30 juta. Uang itu
pesangon semasa aku di terminate dari
sebuah NGO. Itulah uang terbanyak aku miliki meski tidak dapat bertahan satu
bulan karena aku habiskan untuk membayar beberapa pos hutang, termasuk hutang
pada istriku sendiri. Selebihnya aku banyak bersyukur dengan gaji yang diterima
setiap bulan. Sekalipun tidak banyak, aku banyak mensyukurinya.
Rincian pembiayaan berobat Zaim sebenarnya
dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap intensif dan maintenance. Pada tahap
intensif yang memakan waktu 12 bulan, biaya yang diperlukan sebesar 180-200
juta. Perkiraan itu banyak benarnya. 8 bulan rawatan di Malaysia, Zaim telah
mengabiskan sekitar 100 jutaan. Aku sendiri dengan menjual asset berubah sepeda motor dan mobil, hanya mampu
mengumpulkan 38 juta. Lalu aku juga
harus mencari pinjaman lunak dan mengabiskan 25 juta. Lalu dari manakah
sisanya? Tentu saja dari Allah melalui perantaan manusia
Beberapa tahun
sebelum Zaim lahir, aku telah menghabiskan
waktu beberapa tahun bekerja di dunia charity. Momentum bernama tsunaami mengantarkanku
sebagai relawan pada Komite Kemanusia Indonesia. Aku merekam sebagian catatanku sebagai
relawan dalam novel berjudul Secangkir Kopi Untuk Relawan. Setelah
lembaga ini merampungkan misinya, aku terlibat sebagai staff pada Internationa
Non Goverment Organization yang mendidikasikan
kehadirannya di Aceh untuk membantu recovery pembangunan masyarakat Aceh. Lalu
setelah terminated dari Mercy Corps, aku diajak bergabung untuk memimpin
pondok yatim bernama Istanbul Dormitory yang didanai dari masyarakat Turki
melalui IHH dan PKPU. Episode dipondok
yatim jujur merupakan salah satu episode terindah dalam hidupku. Episode ini
membuatku harus merevisi tujuan hidupku dengan
mencantumkan cita-cita di hari tua; membuat pondok yatim selain cita-cita naik
haji. Aku bersyukur bahwa karir kepegawaianku masih berada
di lingkaran dunia social.
Dunia charity tidak akan
banyak menghasilkan uang banyak. Kita tahu berapa gaji yang diperoleh seorang
aktivis LSM atay relawan. Namun kita harus jujur bahwa dunia charity banyak
mendatangkan berkahnya. Kalau saat ini banyak tangan yang mengulurkan tangan
pada Zaim, mungkin ini bisa jadi balasan dari Allah. Bahwa sesungguhnya Allah
lah yang menggerakkan hati mereka.
Ketika pada akhirnya aku dan istriku menerima
donasi untuk Zaim, maka sebenarnya kami paham bahwa kami berada pada lingkaran
atau siklus kebaikan. Siklus itu harus terus berjalan. Bahwa kami saat ini menjadi pusat perhatian orang karena
banyak pihak yang prihatin atas kondisi anak kami, semoga itu menjadi monument
sejarah yang harus selalu kami ingat. Bahwa kelak kami pun harus meneruskan
siklus kebaikan kepada orang lain. Pada akhirnya kita semua sadar, bahwa ketika
kita memulai melakukan kebaikan pada orang lain, sebenarnya kita memulai untuk
berbuat baik untuk diri sendiri. Ketika
kita mengulurkan sebungkus nasi kepada pengemis yang kelaparan di perempatan
jalan, sebenarnya suatu saat akan ada orang yang melakukan kebaikan yang sama
kepada kita meskipun dalam bentuk yang lain.
Allah mengajarkan pada
kita melalui nasehat-nasehat para ulama bahwa kita hidup dalam lingkaran
kebaikan. Dari ibu yang memberikan air susunya kepada kita, dari seorang ayah
yang mengajar kita ke taman, dari tetangga yang memberikan sup hangat, dari matahari
yang memberikan kita cahaya, dari alam yang mengajarkan arti keseimbangan dan
dari Allah yang memberikan hikmah pada kita. Alangkah naifnya jika kita tidak
menyadarinya.