Senin, 24 Juni 2013

Ujian Hidup dan Lingkaran Kebaikan







Bukan perkara mudah ketika kita harus menolak bantuan orang.  Dan itulah yang  aku istriku rasakan tatkala ratusan tangan ingin mengulurkan bantuan pada Zaim.  Jujur ada beberapa donatur yang kami tolak karena satu dan lain factor yang tidak bisa saya sebutkan disini. Tapi persoalan sebenarnya bukan karena sebab dari luar, tetapi lebih bersifat internal alias dari dalam diri kami sendiri. Bukannya ingin takabur, orang-orang disekeilingku selalu mengajarkan bahwa kita boleh saja secara fisik miskin, namun jangan jiwa kita yang miskin.
Sebelum melepaskan sauh dari dermaga lajang dan berlanjut mengarungi hidup dalam perahu indah bernama rumah tangga, aku dan istri sudah terbiasa hidup mandiri. Semasa SD aku sudah nyambi kerja untuk mari uang saku. Lalu ketika duduk di bangku SMP aku sempat jualan koran, nyablon maupun serta kerja serabutan lainnya. Semasa duduk di bangku SMU aku pernah kerja di bengkel sebelum akhirnya menemukan lumbung emas bernama dunia lomba.  Berulang kali memenangkan lomba debat, lomba karyaa tulis dan menjadi marbot masjid. Lalu tatkala kuliah, aku nyambi kerja di NGO. Begitu juga istriku. Sebelum resmi aku persunting sebagai bidadari di istana sederhana, gadis manis asal Aceh itu punya penghasilan sambilan mengajar Sempoa dan guru Taman Pendidikan Al Qur’an. Aktivitasnya baru berkurang setelah melahirkan dua putri kami, Muthia dan Faiza. Baru setelah itu lahir putra kami Zaim.
Delapan tahun menikah telah kami lewati susah senang bersama. Perjalanan waktu membuat kami mampu mengumpulkan beberapa benda yang memudahkan kami menjalankan aktivitas rumah tangga. Pada awalany sepeda motor, alat rumah tangga, peralatan elektronik lalu yang agak berat adalah mobil. Mengingat kami berasal dari keluarga sederhana, kami memerlukan waktu dua tahun untuk melunasi sepeda motor dan dua tahun juga untuk melunasi mobil hasil pinjaman teman. Sejak awal kami sudah paham semua benda itu adalah titipan dari Allah yang suatu saat bisa jadi diambil kembali. Lalu tatkala Zaim didiagnosa menderita Leukemia dan memerlukan biaya yang sangat besar, saat itu juga Allah menarik benda-benda yang sebelumnya diamanahkan pada kami.
Dokter di Pusat Perubatan University Kebangsaan Malaysia pernah memberitahu kami bahwa pengobatan Zaim selama hamper 3 tahun akan menghabiskan uang sekitar   500 hingga 800 juta rupiah. Logika keuangannya tiba-tiba mentok mengingat  aku belum pernah menerima apalagi menghitung uang sebayak itu. Sejarah hidupku, uang yang paling banyak yang aku miliki adalah 30 juta. Uang itu pesangon semasa aku di terminate dari sebuah NGO. Itulah uang terbanyak aku miliki meski tidak dapat bertahan satu bulan karena aku habiskan untuk membayar beberapa pos hutang, termasuk hutang pada istriku sendiri. Selebihnya aku banyak bersyukur dengan gaji yang diterima setiap bulan. Sekalipun tidak banyak, aku banyak mensyukurinya.
 Rincian pembiayaan berobat Zaim sebenarnya dibagi menjadi dua tahap, yakni tahap intensif dan maintenance. Pada tahap intensif yang memakan waktu 12 bulan, biaya yang diperlukan sebesar 180-200 juta. Perkiraan itu banyak benarnya. 8 bulan rawatan di Malaysia, Zaim telah mengabiskan sekitar 100 jutaan. Aku sendiri dengan menjual asset  berubah sepeda motor dan mobil, hanya mampu mengumpulkan 38 juta. Lalu  aku juga harus mencari pinjaman lunak dan mengabiskan 25 juta. Lalu dari manakah sisanya? Tentu saja dari Allah melalui perantaan manusia

Beberapa tahun sebelum  Zaim lahir, aku telah menghabiskan waktu beberapa tahun bekerja di dunia charity. Momentum bernama tsunaami mengantarkanku sebagai relawan pada Komite Kemanusia Indonesia.  Aku merekam sebagian catatanku sebagai relawan dalam novel  berjudul Secangkir Kopi Untuk Relawan. Setelah lembaga ini merampungkan misinya, aku terlibat sebagai staff pada Internationa Non Goverment Organization yang mendidikasikan kehadirannya di Aceh untuk membantu recovery pembangunan masyarakat Aceh. Lalu setelah  terminated dari Mercy Corps, aku diajak bergabung untuk memimpin pondok yatim bernama Istanbul Dormitory yang didanai dari masyarakat Turki melalui IHH dan PKPU.  Episode dipondok yatim jujur merupakan salah satu episode terindah dalam hidupku. Episode ini membuatku harus merevisi tujuan hidupku dengan mencantumkan cita-cita di hari tua; membuat pondok yatim selain cita-cita naik haji.  Aku bersyukur bahwa karir kepegawaianku masih berada di lingkaran dunia social. 

Dunia charity tidak akan banyak menghasilkan uang banyak. Kita tahu berapa gaji yang diperoleh seorang aktivis LSM atay relawan. Namun kita harus jujur bahwa dunia charity banyak mendatangkan berkahnya. Kalau saat ini banyak tangan yang mengulurkan tangan pada Zaim, mungkin ini bisa jadi balasan dari Allah. Bahwa sesungguhnya Allah lah yang menggerakkan hati mereka.
 Ketika pada akhirnya aku dan istriku menerima donasi untuk Zaim, maka sebenarnya kami paham bahwa kami berada pada lingkaran atau siklus kebaikan. Siklus itu harus terus berjalan. Bahwa kami  saat ini menjadi pusat perhatian orang karena banyak pihak yang prihatin atas kondisi anak kami, semoga itu menjadi monument sejarah yang harus selalu kami ingat. Bahwa kelak kami pun harus meneruskan siklus kebaikan kepada orang lain. Pada akhirnya kita semua sadar, bahwa ketika kita memulai melakukan kebaikan pada orang lain, sebenarnya kita memulai untuk berbuat baik untuk diri sendiri.  Ketika kita mengulurkan sebungkus nasi kepada pengemis yang kelaparan di perempatan jalan, sebenarnya suatu saat akan ada orang yang melakukan kebaikan yang sama kepada kita meskipun dalam bentuk yang lain.
Allah mengajarkan pada kita melalui nasehat-nasehat para ulama bahwa kita hidup dalam lingkaran kebaikan. Dari ibu yang memberikan air susunya kepada kita, dari seorang ayah yang mengajar kita ke taman, dari tetangga yang memberikan sup hangat, dari matahari yang memberikan kita cahaya, dari alam yang mengajarkan arti keseimbangan dan dari Allah yang memberikan hikmah pada kita. Alangkah naifnya jika kita tidak menyadarinya.